Senandung Butiran Hujan(2)

2K 137 1
                                    

Kulihat wajah angker seorang tionghoa membukakan gerbang sambil membawa payung. Maya menyilahkanku mampir dengan suara canggung. Sebenarnya hati kecilku mengajakku untuk mampir berteduh. Hujan yang masih turun menggila mengganggu pandangan mataku. Aku membayangkan secangkir kopi panas akan menghangatkan tubuhku di tengah guyuran hujan ini. Tapi wajah angker itu seakan melarangku. Aku segera ingat cerita Maya tentang bagaimana dia menentang ayahnya. Memikirkan bagaimana kehidupan rumah tangga keluarga ini pikiranku jadi kemana-mana. Bagaimana mungkin aku bisa menjalin perasaan dengan seorang gadis berlatar belakang keluarga seperti ini? Perkara menggerakkan hati benar-benar di luar kuasa manusia. Akhirnya aku kembali tancap gas. Menjauhi rumah megah bercat lusuh itu.

* * *

Hujan semakin menggila. Tubuhku menggigil. Melihat kedai kopi di tepi jalan aku segera membelokkan motor karena rumah kos Lambang yang berada di belakang sekolah masih cukup jauh dari sini. Di depan kedai kulihat dua orang remaja sedang berteduh. Mereka memilih terkena tempias hujan dari pada merogoh uang untuk meminum secangkir kopi di dalam kedai. Aku bingung mencari tempat duduk karena ternyata tak ada meja yang kosong. Ketika mataku masih sibuk mencari tempat duduk kulihat Mas Hakim ada di pojok ruangan bersama dua orang temannya. Ia memanggilku. Aku tidak pikir panjang untuk menerima tawaran duduk di dekatnya.

"Baru pulang Lik?" Tanya Mas Hakim dengan senyum khasnya.

"Iya Mas. Hujannya gila bener," jawabku setengah mengeluh.

"Hujannya biasa aja kok. Kita yang cenderung lebay menerima pemberian Allah. Dikasih hujan mengeluh. Dikasih panas mengeluh," ceramahnya. Sebenarnya aku tidak begitu nyaman selalu mendengar ceramahnya. Tapi tentu saja kehujanan di tengah jalan jauh lebih tidak nyaman dari pada mendengar ceramahnya.

"Bukankah Tuhan tempat berkeluh kesah Mas?" Tanyaku spontan.

"Kamu mengeluh kepada Allah sebagai bentuk pengaduan atau protes?" tanyanya masih disertai senyum. Kulihat serbuk kopi hitam di sela giginya. Aku menahan geli. Tapi pertanyaannya membuatku bingung harus menjawab apa.

"Jangan menipu Allah. Jangan menyembunyikan kekesalanmu di balik ketakwaan. Jangan pura-pura dalam beribadah," tambahnya lagi. Duh ceramah lagi.

"Jawaban Mas Hakim dalam sekali. Mas pasti rajin membaca buku keislaman," itu respon yang bisa aku berikan setelah memilih beberapa perbendaharaan kalimat dalam pikiranku.

"Itu nasihat Kyaiku pas masih di pesantren dulu Lik," jawabnya sambil tersenyum lagi.

"Jadi Mas Hakim pernah nyantri?" tanyaku tak percaya. Ucapannya yang sering mengkritisi pesantren membuatku tak sedikit pun mengira ia alumni pesantren. Apalagi pas diklat rohis kemarin ia mengimami subuh tanpa doa qunut.

"Aku sekolah di pesantren pas jaman SMA," jawabnya datar.

"Dia keluar dari pesantren gara-gara nggak betah gudiken," sahut salah satu temannya sambil ngakak. Aku juga ikut ngakak.

"Enak aja. Aku tamat di Peterongan hingga Aliyah Dar. Kamu aja yang nggak kuat menahan ujian kesabaran itu," Mas Hakim mengelak.

"Jadi Mas-Mas ini pernah nyantri semua?" aku semakin penasaran. Mereka mengangguk. Eh, yang seorang lagi sedang khusuk membaca Qur'an. Ia tidak sedikit pun melibatkan diri dalam percakapan ini. Jadi ia tidak mengangguk.

"Jadilah santri yang tidak fanatik Lik. Belajarlah di pesantren dengan baik tapi jangan sampai kamu merasa lebih baik jika bertemu dengan orang baik yang tidak pernah nyantri. Kamu juga harus tahu bahwa tidak semua kebaikan dan kebenaran itu berasal dari pesantren. Jangan karena statusmu sebagai santri membuatmu jadi mengkotak-kotakkan agama Allah ini. Kamu pernah dengar kisah tentang Imam Syafii yang tidak membaca doa qunut saat menjadi imam solat subuh di musolla Imam Malik itu kan? Itulah contoh ulama' yang paham fiqih. Kami sering merasa kecewa melihat dewasa ini perbedaan menjadi sumber permasalahan. Tidak ada yang mau mengalah," kalimat panjangnya itu diakhiri dengan seteguk kopi kental di cangkirnya. Sebenarnya aku sudah bosan membahas hal-hal serius ini.

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang