"Sudah nambah berapa nadhom hafalanmu?" tany Amir setengah berteriak.
"Apa Mir?" sahutku pula. Aku tidak yakin dengan pendengaranku. Suara pick-up ini cukup berisik. Apalagi lalu-lintas jalan raya juga sedang ramai sekali.
"Hai La?" bukannya menjawab pertanyaanku Amir malah berpaling dari hadapanku dan berteriak-teriak. Kulihat senyumnya malu-malu.
"Iyaa," teriaknya lagi. Entah sedang berbicara dengan siapa anak itu.
"Siapa?" tanyaku beberapa kejap kemudian. Kami duduk di tempat yang berbeda. Aku di sisi kanan dan dia di kiri sambil memegang sepeda pancalku. Sepeda antik itu akan kami gunakan untuk pulang ke pondok nanti. Kami sedang naik pick-up di atas tumpukan kardus dan barang-barang bekas menuju gudang pengepul untuk menjual barang rongsokan yang kami kumpulkan sebulan terakhir. Pick-up mulai jalan lagi. Warna lampu lalu-lintas sudah berubah jadi hijau.
"Mala sama temannya. Novi kayaknya," jawab Amir datar. Semenjak masuk MAN Mala sudah tidak mondok lagi. Kabarnya dia sekarang tinggal di rumah temannya. Amir yang belum lama ikut aku jadi tukang rongsokan terlihat malu dilihat teman sekelasnya menjadi tukang sampah begini.
"Kau ngomong apa tadi Mir?" tanyaku lagi.
"Ngomong apa? Oh, itu tadi Mala titip salam untukmu."
"Bukan itu. Kalau itu aku juga dengar. Sebelum ketemu Mala tadi kamu ngomong apa?"
"Oalah Gus-Gus. Itu to. Hmmm. Mbok yo ojo sok cool nemen-nemen Gus. Kalau ada cewek cantik kasih kode itu mbok yo ditanggepi. Kasihan. Mubadzir. Malah pura-pura ngejak ngomongin tema lain segala."
"Bukannya kemarin kau bilang wanita itu bisa menghalangi langkah kita menggapai mimpi?"
"Barangkali itu bisa membuatmu move on. Kurasa itu lebih baik buatmu daripada hatimu disandera oleh satu wanita," jawab Amir pelan. Pick-up terus melaju. Sebenarnya tadi aku menyuruhnya duduk di depan bersama sopir tapi dia tidak mau. Dia ingin menemaniku. Aku memilih duduk di belakang karena di depan tidak muat untuk duduk bertiga.
Aku tidak menyahut ucapan Amir itu. Dia nampak menunggu jawabanku.
"Hei. Bengong aja," sergahnya."Kayaknya sulit move on dari dia kalau aku tetap tinggal di sini Mir. Entah aku bisa wisuda alfiyah apa nggak nanti. Hafalanku masih macet," jawabku setengah putus asa.
"Jadi?"
"Aku akan pindah pondok lulus sekolah nanti. Semoga dapat ijin."
"Pindah ke mana?"
"Entahlah. Dipikir nanti saja. Eh bentar lagi kita sampai di gudang."
Kami ikut menimbang semua barang-barang itu. Setelah sekitar satu jam berlalu akhirnya selesai juga. Kulihat wajah cerah Amir memancarkan kebahagiaan. Kami pulang berboncengan. Sepeda onta milikku membuktikan kekuatannya. Sepeda yang kuwarisi dari abah itu belum pernah rewel selama kurun waktu dua tahun kupakai.
"Masih jam empat. Cari es dulu yuk?" usul Amir.
"Ide bagus. Aku juga haus banget nih."
"Di mana enaknya?"
"Sebelum pertigaan Janti belok kiri. Enak banget es degannya. Aku dulu sering ke sana," teriakku. Amir semakin kuat menggenjot pedal. Laju sepeda semakin kenceng.
"Berarti kita agak melenceng ini jalannya? Semakin jauh dong."
"Dijamin nggak nyesel."
Kami terus melaju. Melewati gedung bekas pabrik bentoel yang mangkrak. Suasana benar-benar sepi. Pabrik rokok yang pernah jaya di jamannya ini sekarang seperti rumah hantu. Aku sempat membayangkan yang aneh-aneh.
Tiba-tiba Amir memperlambat laju sepeda."Capek?" tanyaku.
"Kau tidak dengar sesuatu?" laju sepeda semakin pelan. Aku menajamkan pendengaran.
"Kayaknya suara wanita. Suara minta tolong nggak sih?"
"Iya Gus. Aku jadi merinding."
"Suaranya tambah jelas Mir. Kau parkir sepeda di sebelah mobil itu."
Setelah sepeda keramat kami parkir di sebelah mobil yang tidak nampak pemiliknya itu kami mulai masuk ke lorong bangunan pabrik."Sebelah sana, ayo."
Tak berapa lama kemudian mata kami terbelalak. Kulihat seorang lelaki tengah berjibaku dengan seorang gadis. Penampilan gadis itu acak-acakan. Dia terus melawan lelaki di depannya. Melihat warna kulit dan sipit matanya kedua orang itu kelihatannya beretnis China.
"Hoii!" teriakku lantang. Lelaki itu nampak terkejut. Matanya membelalak tak senang.
Nampaknya gadis itu sudah kelelahan. Bajunya telah robek sebagian. Suaranya pun kian melemah. Bahkan kini dia tidak lagi berteriak. Aku terperangah melihat Amir yang tak pikir panjang mencegah aksi bejat itu. Aku tak menyangka dia akan seberani itu. Pemuda berkulit putih itu kemudian bersitegang dengan Amir. Gadis itu terhuyung-huyung bersandar di tembok. Aku berlari menghampirimya.
Maya?
Aku meragukan kemampuan analisa mataku. Masak dia Maya? Mana kecantikannya yang dulu membuatku tergoda itu? Bagaimana mungkin dia bisa begini berubah?
"Maya?" mulutku reflek menyebut namanya tatkala kami sudah sangat dekat. Kubantu ia duduk. Ia pun terlihat kaget melihatku. Pipinya telah diburai air mata. Tangisnya semakin menjadi-jadi di dekatku.
"Kenapa kau bisa sampai begini?"
"Bagaimana ceritanya Ya?" Pertanyaanku dibiarkannya tak berjawab. Gadis itu masih terus tersedu. Menyadari Maya tak merespon perhatianku akhirnya mataku tertuju pada perkelahian antara Amir dan lelaki itu.
* * *
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomansaBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...