Menjadi Pemulung(2)

2.1K 135 5
                                    

Kami kemudian melanjutkan perjalanan dalam diam. Suasana jalan yang ramai tak memungkinkan kami untuk terus berbicara. Dengan peluh yang membasahi baju, kami terus mengayuh kendaraan tak bermesin itu. Menyusuri gang-gang sempit. Mengantarkan kami menuju gerbang pondok. Memandang menaranya yang menjulang menuding birunya langit dari kejauhan membuat hatiku tentram. Telah kutemukan makna dari hakikat kehidupan di sana. Dan ketenangan itu semakin meresap dalam jiwaku seiring jarak yang semakin dekat. Tinggal hitungan menit saja aku akan segera memasuki gerbang tempat tinggal para pemuda bersarung itu.

Setelah tiba di pondok tidak ada waktu istirahat untukku. Tumpukan sampah yang belum sempat aku tata telah menanti. Sampah -sampah yang masih memungkinkan untuk didaur ulang aku tinggalkan pagi tadi. Dari sampah yang masih bisa didaur ulang itu aku mendapat uang. Jika jumlahnya telah banyak aku akan menjualnya. Hasilnya lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menambal kekurangan uang saku yang sering, atau tepatnya selalu telat dikirimkan oleh umi.

Setelah menyelesaikan semua tugas berkenaan dengan sampahku aku menanti senja di bawah menara sambil mengulang hafalan alfiyahku. Di langit sebelah barat arak-arakan awan berwarna merah menyala menawarkan pemandangan yang begitu mempesona. Semilir angin lembut menyentuh kulitku. Menghembuskan kedamaian. Di sampingku, tanaman hias yang mengitari air mancur di bawah menara itu berayun-ayun ditiup angin. Jejak-jejak percikan air yang membasahi daun-daunnya berjatuhan satu-persatu membuat riak-riak kecil air yang menggenang di bawahnya.

''Ehm,'' Rofa' yang tiba-tiba ada di sebelahku berdehem membuat konsentrasi hafalanku buyar.

''Waaah apalan terus rekk! Ini baru Gus temenan!'' kata teman sekelasku di madrasah itu.

''Omong apa Fa'?''

''Lho ini beneran lho. Sekarang hafalanku kalah jauh denganmu. Padahal dulu sebaliknya. Kamu kalah jauh dariku. Selain itu pagi-pagi kamu sudah harus mengurusi sampah. Waktumu jelas tak selapang aku untuk menekuni buku." Sambil meletakkan pantatnya, duduk di atas pinggiran kolam air mancur Rofa' mulai membuka kitab nadzamannya. Aku berniat melanjutkan hafalanku, tapi belum sempat dapat satu baris lelaki berkulit sawo matang itu kembali mengajakku berbicara.

''Lik, beneran kamu belum menemui Maya setelah mendapat pesan dari Amir itu? Maya itu yang katanya cewek tercantik di MAN kan?''

Sebenarnya aku merasa malas membicarakan gadis itu. Tapi tak enak mengacuhkan ucapannya.

''Aku tidak menemuinya karena kami secara kebetulan sudah bertemu di parkiran beberapa hari yang lalu," padahal tidak ada pembicaraan sama sekali diantara kami. Kami hanya beradu pandang sekilas. "Emang kenapa? Kamu tau tentang Maya dari Amir ya?''

''Terus kamu ngomong apa ke dia?''

"Ditanya malah bertanya." Aku mulai sebal.

''Tanpa diberitahu Amir pun aku sudah tahu. Dia tuh terkenal di sekolahku.''

''Kok bisa?''

''Begitulah. Anak pondok di sekolahku banyak yang tau kau pernah pacaran sama dia.''

''Ah. Itu sudah jadi masa lalu. Jangan membahas dia lagi.''

"Kau balikan sama Ning Fiya?" pertanyaan Rofa' itu menohok dadaku. Lalu aku sibuk menjawab pertanyaan itu tanpa berniat menyampaikannya pada Rofa'. Benarkah aku mengacuhkan Maya karena aku ingin insyaf? Atau karena aku masih mengharapkan Ning Fiya? Melihatku terdiam Rofa' melempar tanya lagi. "Jadi kau tidak balikan sama Ning Fiya?"
Secara reflek aku menggeleng.

''Terus?''

''Apanya yang terus?''

''Apa kamu memutuskannya?''

''Kau kira Ning Fiya itu seperti cewek-cewek sekolahan itu? Aku tidak kufu sama dia. Andaikan dia mau samaku pun orang tuanya tak kan mau punya menantu tukang sampah sepertiku. Merendahkan martabat Yai. Sudah jangan kau bahas dia lagi.''

''Benarkah Maya hanya pelarianmu dari Ning Fiya?'' tanyanya dengan suara sangat pelan.

''Awalnya sih aku memang nggak suka. Namun lama-kelamaan aku merasa nyaman bersama dia. Walau aku tak pernah mengutarakan perasaan apa pun ke dia tapi kami seperti sudah memahaminya. Cinta itu bukan urusan perkataan tapi bagaimana kita membuktikannya. Dan kayaknya aku telah melakukan yang kedua tadi."

Di balik kaki langit sang surya semakin tak kentara. Hanya sorot cahaya merah kekuning-kuningan terpantul di atas mega yang menandakan keberadaannya. Mentari telah tergantikan oleh sinar senja. Senja yang temaram. Membuat wajah Rofa' hanya remang-remang tampak di kedua belah mataku. Tampaknya rasa penasarannya telah terpuaskan. Dia telah berhenti bertanya. Dari kejauhan, di atas rumah-rumah warga yang berjajar-jajar, desis dan kesiut angin mendesah membawa gelisah.

''Oh iya Gus. Saking serunya ngobrol tentang Maya sampai lupa. Aku kemari tadi untuk menyampaikan surat dari ibumu.'' Rofa' mengambil amplop warna putih yang terselip di saku baju takwanya.

"Benarkah?" dadaku meletup-letup bahagia mendengar ada surat dari umi.

"Eh, jangan sebarkan curhatku tadi ya Fa'? Tiba-tiba aku menyesal telah menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

''Siap. Aku iseng aja mendengar cerita Amir tentang Maya semalam. Sudah mau magrib nih, aku mau ngambil jemuran dulu ya. Kamu baca aja suratnya.''

Aku menjawabnya dengan anggukan kepala. Temanku yang berambut keriting itu kemudian berlalu dari sampingku setelah memberikan surat dari umi itu. Aku segera membukanya. Penasaran ingin tahu isinya aku robek amplop itu. Sebuah tulisan tangan dengan tinta hitam berjejer rapi di atas selembar kertas putih mengundang haru. Terpaan angin membuatnya bergerak-gerak seperti enggan untuk dibaca. Dengan segera kertas bertuliskan tangan Umi itu kusembunyikan di balik tubuhku untuk menghindari terpaan angin.

Assalamualaikum Wr. Wb.
Bagaimana kabarmu Le? Hampir setahun kamu tidak mengirim kabar ke rumah. Umi baik-baik saja di rumah. Demikian juga dengan Aisyah. Adikmu nitip salam padamu. Katanya dia sudah kangen sama kamu Le.

Bagaimana dengan ngajimu? Sekolahnya lancar-lancar saja kan? Umi selalu mengharapkan yang demikian. Sering-seringlah muthalaah kitabnya. Pemahaman ilmu kadangkala muncul di situ.

Maafkan Umi karena hanya bisa mengirimkan uang dengan jumlah kecil saja. Mungkin bahkan belum cukup untuk memenuhi kebutuhanmu. Akan umi usahakan untuk bisa ngirim uang lagi secepatnya. Untuk itu umi berharap kamu bisa berhemat. Rajinlah bertirakat. Berlelah-lelahlah dalam berusaha. Manisnya hidup terasa setelah merasakan pahitnya berjuang. Insyaallah ilmumu nanti bisa bermanfaat.

Mungkin itu saja dulu. Kalau bisa segera kirimkan surat balasan. Umi sudah kangen.
Wassalamualaikum Wr. wb.

Sinar senja telah benar-benar hilang ditelan gelapnya malam ketika aku telah menyelesaikan membaca surat itu. Suasana haru mengingat keadaan umi membuat nanar pandangan mataku. Ibuku itu kini menanggung beban yang berat karena harus membiayai sekaligus menjadi tumpuan satu-satunya dalam keluargaku. Bayang-bayang kesedihan dan keterbatasan umi membakar semangatku untuk bangkit. Untuk belajar. Untuk bekerja. Aku bertekad akan megembangkan daerah jajahanku untuk mencari barang-barang bekas. Untuk menambah stok yang sudah kudapat dari tumpukan sampah dari pondok. Tak mengapa aku harus mengorbankan masa mudaku. Demi meraih cita-cita, perilaku prihatin harus dilakukan, begitu kata Kyai Dim beberapa tahun yang lalu.

Lamunanku segera terhenti karena suara adzan melengking dari atas menara. Merasuk ke lorong-lorong hati.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang