''Kendalikan jiwa mudamu Nak. Tidak harus semua air tuba dibalas dengan air tuba. Di dunia ini orang jahat memang bisa saja luput dari hukuman. Tapi ingatlah, sejahat-jahatnya orang, rasa bersalah suatu saat pasti akan datang. Tidak sekarang mungkin nanti. Dan cukuplah itu sebagai balasan atas kesalahannya. Rasa berdosa akan sanggup menyiksa hidupnya. Toh, di akhirat nanti tak akan ada yang bisa lolos dari pengadilan-Nya. Tubuhnya akan menjadi saksi pada setiap perbuatannya."
Umi kembali berpetuah. Aku berusaha menjejalkannya ke dalam hati.
"Makanya hati-hatilah kalau memilih pergaulan Le. Di kota memang sudah seperti itu keadaannya. Ke mana pun mata memandang selalu tersedia tawaran berbuat dosa. Ke mana pun kaki melangkah selalu ada fasilitas untuk berbuat dosa."
Umi berkata dengan suara bergetar. Matanya kembali berkaca-kaca. Ucapannya yang membelok dari pembahasan membuatku berpikir macam-macam. Aku tak berani menatap matanya, tertunduk menyesali diri. Benarkah wanita mulia ini mengetahui dosa-dosaku? Mulutku terkunci rapat. Kepalaku terasa semakin berat. Dadaku seperti mendapat pukulan yang meremukkan. Beban kesalahan yang menggunung ini membuat duniaku kini seoalah menjadi gelap gulita.
''Ketahuilah Nak, semua ini memang takdir yang harus kita jalani. Sepahit apa pun inilah jalan yang tak mungkin kita hindari. Kita harus sabar menjalaninya, tidak ada pilihan lain.''
Akhirnya air mata umi menular padaku. Tangannya kemudian merengkuh tubuku ke dalam pelukannya. Pelukan itu melarutkan kesedihan yang menghentak-hentak dadaku. Kasih sayang seorang ibu adalah obat segala lara.
''Ketika aku di rumah sakit itu katanya abah juga sedang sakit Mi. Sebenarnya abah sakit apa Mi?'' aku bertanya setelah kami lama terdiam. Mbak-mbak santriwati yang bekerja di dapur sudah tak terdengar suaranya. Mungkin mereka telah menyelesaikan pekerjaannya. Malam semakin menukik. Dan aku sama sekali belum ngantuk.
''Penyakit yang diderita bapakmu sebenarnya sudah lama Nak. Tapi abahmu memang keras kepala," suara umi terhenti oleh tangis. Aku semakin kalut merasa diri tak mampu meringankan beban sedihnya. "Dia menyimpannya sendiri agar anak istrinya tidak ikut sedih. Dan beberapa bulan ini akhirnya aku mengetahuinya karena Kang Roni kutanyai sering mengantarnya ke rumah sakit. Tiap dua minggu sekali abahmu harus cuci darah untuk menggantikan fungsi ginjalnya yang sudah parah. Dan semua itu butuh uang yang banyak. Toko yang ada di kecamatan juga seakan telah mati. Karena uang tabungan sudah tak mencukupi lagi akhirnya mobilnya terjual demi kesembuhan abahmu,'' umi berkata dengan suara setengah berbisik. Kedua matanya yang redup menatapku sekilas, kemudian aku tak mampu lagi untuk mengajukan pertanyaan. Aku tak ingin menambah kesedihannya.
Malam semakin larut ditemani suara jangkrik yang semakin riuh dengan nyanyian malam yang membelah-belah sepi. Rembulan pun masih belum menampakkan sinarnya. Mendung hitam menyembunyikan keelokan temaramnya. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menghalau gelisah.
* * *
Minggu kedua setelah abah meninggal.
Beberapa santri yang pulang karena pengajian yang sempat terhenti kini mulai berdatangan lagi. Dari balik komplek yang dibangun dengan bentuk sederhana itu suara lantunan Al-Qur'an turut mewarnai pagi yang dibalut mendung.
''Motorku ini dijual saja ya Mi.'' Ragu-ragu aku mengutarakan keinginanku pada umi.
''Untuk apa? Cukup mobilnya saja yang terjual Le? Nanti kalau mau bepergian bagaimana?'' Pertanyaan umi membuatku terdiam. Bingung merangkai kata untuk memberinya jawaban.
''Untuk bekal kembali ke Malang aku membutuhkannya Mi. Uang SPP-ku belum terbayarkan. Lagian kan masih ada satu motor yang bisa dipakai umi untuk bepergian,'' akhirnya aku punya jawaban setelah berpikir lama. Kesulitan keuangan yang ternyata dialami keluargaku membuatku berbuat demikian. Kudengar dari Kang Solihin toko yang dikelolanya kini telah sepi. Ikan lele yang diternakkan mendiang abah beberapa waktu terakhir juga gagal panen. Kurasa apa yang kuperbuat ini bisa meringankan beban umi untuk biaya slametan tujuh hari abah sekaligus biaya sehari-hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomanceBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...