Titik Balik(1)

1.9K 130 0
                                    

Aku tergagap bangun. Bingung mendapati diriku terkapar sendirian di ranjang dalam sebuah ruangan yang serba putih. Rasa penasaran semakin berjejal-jejal di kepala. Di mana aku berada?

Aku mencoba bangun namun tak mampu. Sekujur badanku terasa sakit. Dari sudut-sudut ruangan menguar bau obat. Bau yang khas aroma kesedihan itu menusuk-nusuk indera penciumanku. Ketika kutengok ke arah jendela, mentari pagi sudah beranjak naik melintas cakrawala. Pendar-pendarnya yang sedikit kekuningan mencerahkan suasana. Pagi yang indah.

Perlahan aku mulai mengingat kembali apa yang telah menimpaku. Bayangan kelebat hujan itu serasa datang kembali ke ujung mata. Ingatanku semakin benderang. Beberapa saat yang lalu aku kecelakaan, dan sekarang aku pasti sedang berada di rumah sakit. Aku membatin. Kelebat wajah Maya yang dilumuri senyum manis itu juga hadir kembali. Susah-payah aku melupakannya. Aku mencoba beristighfar, berusaha untuk menghempaskan wajahnya. Diam-diam aku merasa sangat bersyukur bisa selamat dari godaan syahwat itu. Walaupun sebenarnya aku telah terjebak dalam sebuah dosa. Tapi setidaknya aku masih bisa mempertahankan kesucianku. Andaikan aku menuruti nafsuku pasti bergunung-gunung sesal kini telah meremukkan jiwaku. Ya, untung saja Allah masih menyelamatkanku. Allah telah menyelamatkanku lewat suara abahku itu.

Tiba-tiba aku kembali termenung. Ada rasa bersalah yang menghentak-hentak dalam dada.

Apa yang baru saja kulakukan hampir saja membunuh masa depanku. Pikiranku tersuruk ke dalam sebuah pusaran bayangan-bayangan aneh. Dalam hayalku, di tembok yang berwarna putih itu terdapat banyak wajah yang aku kenal. Wajah umi muncul paling jelas. Guratan-guratan kesedihan menghiasi wajahnya yang mulai menua. Wajah sendu itu seolah mengatakan, ''Mengapa kau tega menjerumuskan dirimu sendiri dalam hidup yang salah Le? Menyia-nyiakan amanat yang umimu berikan? Umi kecewa padamu!''

Wajah yang sedang dirundung sedih itu kemudian teraliri air mata. Air mata kesedihan dan kekecewaan yang memilukan.

Di sebelahnya, wajah abahku juga muncul. Raut kekecewaan nampak jelas dari wajahnya yang telah digerogoti usia. Aku semakin merasa bersalah kepada kedua orang tuaku itu. Amanat yang mereka titipkan telah aku sia-siakan. Wajah-wajah yang lain juga datang memberikan ekspresi kebencian.

Kemudian muncul wajah sedih yang begitu kuat melumpuhkan nyaliku. Nyali untuk memimpikan hidup bersamanya. Nyali memandangnya. Bahkan aku malu menyebut namanya. Gadis yang pernah menyalakan semangatku menjemput hari-hari yang indah itu. Kau begitu jauh dariku. Jika kau tahu keadaanku pasti kau jijik menatapku. Kau pasti menyesal pernah punya kenangan indah bersamaku.

Menyaksikan semua wajah itu membuatku semakin tersudut. Air mataku menetes menemani perasaan yang kalut. Perasaan yang campur aduk. Mungkin ini semua memang terjadi untuk mengembalikan fitrahku. Fitrah sebagai hamba, agar kembali kepada Tuhan yang telah aku tinggalkan sekian lama.

Senyap yang terlarut dalam ruangan itu tiba-tiba buyar seiring suara derit pintu yang memecah sunyi. Seorang yang sangat aku kenal muncul di balik pintu itu. Dialah itu Kang Sholihin, santri abah yang pernah mengantarku pertama kali nyantri dulu. Di belakangnya ada seseorang yang belum aku kenal. Entah siapa dia. Orang terakhir adalah orang yang paling membuatku terkejut. Amir, dia datang paling belakang dengan membawa senyum khasnya. Temanku yang telah lama terlupakan itu menyapaku dengan senyuman polosnya. Pakaian yang dikenakannya membuatku berpikir macam-macam. Dia berseragam putih abu-abu tanpa memasukkan baju, juga tanpa ada dasi di balik lipatan kerah bajunya. Alas kakinya pun hanyalah sandal jepit. Melihat penampilannya muncul kesimpulan dalam pikiranku. Mungkin dia bolos sekolah dengan alasan yang sangat mendesak. Entah apa itu. Teringat olehku beberapa waktu yang lalu ketika aku membiarkannya kehujanan dan aku memilih mengantar Maya daripada dirinya. Aku merasa begitu bersalah dan malu padanya. 

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang