Filosofi Kopi(2)

2.3K 141 2
                                    

"Terima kasih atas waktunya. Saya adalah penggemar karya-karya Ustadz Imron. Dan sekarang saya baru tahu ternyata di belakang nama besar beliau ada sentuhan tangan anda. Saya tak pernah menyangka Bisriyyuun itu adalah nama pena anda. Setelah ini saya pasti akan segera mencari buku terbaru yang merupakan karya anda sendiri itu." Gadis itu berhenti sejenak untuk mengambil nafas. "Nah, yang ingin saya tanyakan di sini apakah kemampuan menulis termasuk bakat ataukah termasuk soft skill yang bisa dipelajari dan dilatih? Dan bagaimana anda mendapatkan kemampuan seperti itu sampai anda punya karya terjemahan yang cukup banyak?" lanjut gadis berkaca mata di sebuah sudut ruangan itu. Sebentar kemudian suara tepuk tangan bergemuruh. Aku pontang-panting membuang grogi.

"Baik, sebuah pertanyaan menarik dari Mbak Aida. Rasanya pertanyaan ini akan mewakili rasa penasaran para audiens. Bahwa seorang yang mengaku sebagai santri biasa sekaligus mahasiswa yang molor skripsinya ternyata mempunyai karya yang luar biasa. Nah, mari sekarang kita dengarkan penjelasan langsung dari beliau," sambung sang moderator. Aku meraih mikrofon pelan-pelan sembari memikirkan jawaban.

"Sebenarnya karya saya tidaklah banyak. Cuma tiga buah. Itupun dua diantaranya hasil gabungan dengan Ustadz Imron. Jadi saya ini tidak ada apa-apanya. Cuma pembantunya. Dan di sini saya cuma badal beliau. Mengenai bakat menulis. Saya tidak merasa sebagai orang yang berbakat. Apalagi yang saya tulis bukanlah karya saya. Saya hanya menerjemahkan dengan sedikit penyesuain terhadap bahasa lokal. Dan saya rasa kemampuan saya itu lahir karena hobi. Ya, saya punya hobi membaca karya-karya luar biasa dari penulis lokal maupun luar negeri. Jadi, saya juga terlahir tanpa kemampuan membaca ataupun menulis seperti kalian. Lalu saya pun beajar membaca dan menulis. Dan waktu mengantarkan perasaan suka saya pada membaca dan menulis. Tentu saja kemampuan menulis bukanlah hasil instan. Ia adalah hasil jerih payah sebuah usaha. Biasanya saya cuma menyelipkan lembar-lembar puisi yang kutulis sebagai pembatas kitab pengajian di pondok," kuhentikan ucapanku untuk sekedar mengambil nafas. Ada perasaan enggan untuk kembali berucap.

"Aku amat tak suka pada bahasa Arab. Bahkan aku pernah marah pada ayahku karena telah memaksaku masuk pesantren. Dan keseriusan saya mempelajari bahasa Arab saat ini adalah bagian dari permintaan maaf saya pada beliau yang kini telah tiada."
Ruangan tiba-tiba sunyi seiring berhentinya ucapanku.

"Saya kira cuma ini yang bisa saya sampaikan. Intinya, kitab-kitab salaf adalah karya-karya hebat yang menjadi mercusuar Islam. Terus menyuarakan kebenaran walaupun para penulisnya telah bersemayam di alam keabadian. Dan karya-karya mereka adalah motivasi bagi setiap tulisan saya. Pesantren yang melestarikan tulisan-tulisan mereka adalah salah satu penjaga kelestarian bahasa Arab yang indah. Karya yang saya tulis adalah bagian dari ucapan terima kasih saya pada pesantren yang telah mengenalkan saya pada indahnya Islam dan kekayaan bahasa Arab."

Entah karena memujiku ataukah karena menghargai orang yang bicara, para audiens bertepuk tangan riuh mengiringi usainya pemaparanku.

Ketika pembicara yang lain memulai sesi berikutnya aku beringsut keluar. Sultan dan Zaman menyambutku dengan ucapan selamat. Aku sibuk menghapus embun keringat di keningku, dan kedua temanku itu terus berbual memujiku.

"Ternyata kau menerjemah bersama Ustadz Imron selama ini? Kukira kau hanya bertapa di pondok untuk membuang lukamu?" Sultan kemudian tergelak sambil memukuli bahuku.

"Kukira kamu nulis skripsi Kang? Ternyata eh ternyata," Zaman menambahi.

"Sudah, nggak usah rame. Ayo ke kantin?" ajakku.

"Sudah selesai pertapaanmu Bro?" tanya Sultan.

"Dia kan sudah jadi hafid Mas," Zaman menimpali.

"Jadi Yai Bad sudah membebaskanmu ke warung?"

"Iya. Alhamdulillah," aku berucap sembari menghirup nafas dalam-dalam.

"Bisa HP-an lagi dong?" tanya Sultan lagi. "Nanti kau buka twitter. Isinya kicauan sedih mantan bidadarimu itu."

"Kalau HP baru diberikan usai sidang skripsiku nanti," ucapku sedih.

"Ckckckck sabar Lik. Masa pertapaanmu belum habis," Sultan dan Zaman terpingkal-pingkal.

"Siapa yang kau maksud bidadari itu?" tanyaku tanpa menghiraukan tawa mereka.

"Pura-pura lupa Lik-lik. Siapa lagi kalau bukan putri yaimu itu."

"Memangnya Ning Fiya ngomong apa?" tanyaku penasaran.

"Nggak usah dibahas. Aku tak mau tanggung jawab kalau skripsimu molor lagi," ucap Sultan sambil terus berjalan.

"Eh, kita mau ngopi di mana ini?"

"Sudah berapa lama jenengan rangopi Kang kok wes lali?" Zaman yang berjalan di sampingku menyahut. Kami terus melangkah mengikuti Sultan yang sudah beberapa langkah ada di depan kami. Aku merasa begitu asing masuk kawasan kantin. Padahal saat awal kuliah tempat ini adalah tempat tongkronganku.

"Ternyata kopi di sini masih manis-pahit seperti dulu," ucapku pelan.

"Memangnya kopimu di pondok sudah jadi hambar?" sahut Sultan. Dia pun kemudian tertawa. Zaman yang duduk di sampingku juga ikut-ikutan tertawa.

"Hambar bagaimana maksudmu?" tanyaku.

"Ya hambar seperti hidupmu itu Lik." Sultan kemudian terbahak-bahak. Zaman nampak segan ingin meledakkan tawanya di depanku. "Bagaimana rasanya dua tahun lebih hidupmu tanpa kopi dan HP? Hambar bukan?" seloroh Sultan lagi. Tawanya kian berderai. Aku tak punya jawaban atas pukulan kata-katanya. Kopi pun kembali kuteguk.

"Hidup tanpa kopi itu seperti musik tanpa nada. Ya, terdengar sumbang di telinga," Sultan menambahi.

"Jangan salah, aku ngopi setiap hari di pondok," jawabku tak terima.

"Kau bisa ngopi sambil lihat cewek-cewek cantik lalu lalang di sana? Ah, mana mungkin itu. Yang ada kau menganggap lelaki itu cantik, ya kan?"

"Kau terlalu sempit memaknai kenikmatan kopi dari pahitnya. Atau dari hitamnya. Padahal ada white choffee. Kopi yang satu ini rasanya manis padahal warnanya putih, dan ia juga punya penikmat yang banyak. Jadi, kopi itu nikmat bukan karena adanya substansi lain. Ia tetap nikmat dengan keadaan bagaimanapun juga. Tak perlu kau ngopi bersama siapa atau di mana kau ngopi. Kopi adalah perlambang dari kehidupan ini," ucapku berfilosofi.

"Maksudmu opo Lik? Kok berat banget omonganmu?" tanya Sultan.

"Belajarlah dari bagimana dan seperti apa kenikmatan kopi tadi. Jangan sampai kau kehilangan cara menikmati hidup hanya karena keadaanmu sedang tak bersahabat. Misalnya kau dapat cobaan lantas lupa bagaimana caranya bahagia. Itulah kenapa kamu harus ciptakan kebahagiaanmu sendiri. Jangan malah sibuk mencari, karena kau akan kesulitan mendapatkan perlengkapan kebahagiaanmu. Maksudku dengan perlengkapan kebahagiaan adalah uang atau materi. Makanya lapangkan hati, karena dengan begitu semua akan terasa lapang. Dan lapangnya hati itulah cara membahagiakan hatimu. Ihlaskanlah hatimu, dan semua akan terasa ringan," Aku memungkasi kalimat panjang ini dengan desahan nafas panjang pula. Kuseruput lagi kopiku tanpa mempedulikan tanggapan lawan bicaraku.

"Tak rugi pertapaanmu sampai kau dapat ilmu tentang kopi sebegini dalam. Pantas Gus Imron mengajakmu berduet menerjemah novel gurun pasir itu," Sultan berbicara dengan wajah serius.

Perbincangan kami terhenti karena ada dua sejoli yang sedang berjalan menuju kami.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang