Menjadi Pemulung(1)

1.9K 104 0
                                    

Dua tahun kemudian.

Aku masih sangat ingat betapa bingungnya aku saat itu. Uang hasil penjualan sepedaku sudah habis. Uang kiriman umi pun selalu ngadat. Padahal tiada hari tanpa membutuhkan duit. Apalagi aku sudah menginjak kelas dua belas. Banyak biaya yang harus aku keluarkan. Maka hari-hari yang kulalui berikutnya penuh dengan keprihatinan. Pikiranku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan bagaimana caranya untuk mendapat penghasilan sendiri.

Setelah melakukan pertimbangan matang-matang, dan melalui serangkaian perenungan yang dalam pula, aku akhirnya membulatkan tekad untuk meneruskan perjuangan Cak Mahmud, menjadi tukang sampah pondok. Awalnya dia tidak percaya kalau aku mau menggantikannya mengurusi sampah di pondok. Aku dikenalnya sebagai pemalas, hura-hura dan suka melanggar peraturan. Namun akhirnya Cak Mahmud menerima lamaran kerjaku itu setelah panjang lebar penjelasan yang kusampaikan padanya. Sebenarnya dia menerimaku karena merasa kesulitan mencari pengganti yang lain sedangkan dia akan segera menikah.

Pekerjaan yang sering aku hina itu kemudian berpindah tangan kepadaku. Entah, apakah ini merupakan kutukan Cak Mahmud yang pernah aku hina itu, atau memang sudah menjadi jalan hidupku. Yang kutahu itu adalah pilihan terbaik saat itu. Mencari barokah pondok sekaligus menambah penghasilanku. Sejak itu pula kesibukanku meningkat pesat, walau uang yang kudapat memang segitu-gitu saja. Yang penting aku punya tambahan biaya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Alur hidupku pun berubah drastis. Setiap hari aku membersihkan timbunan sampah pondok. Rutinitas yang pelan-pelan mulai kunikmati sekitar setahun terakhir ini. Bau busuk pun sudah semakin bersahabat denganku.

Langit biru terhampar luas di atas sana. Mentari juga terang menyala. Pendar-pendar sinarnya menyilaukan mata. Membuat tumpukan sampah yang ditutupi titik-titik embun memantulkan gemerlap sinar yang menyilaukan. Dari arah barat tumpukan sampah itu sayup-sayup masih terdengar suara teman-temanku menyenandungkan nadzham alfiyah. Sabtu pagi adalah jadwal setoran hafalan bait-bait alfiyah. Sebuah nama kitab yang selalu mengingatkanku pada gadis itu. Aku masih belum bisa menghapus rindu itu. Pun rasa bersalah menatap wajah sendu itu dua tahun yang lalu acap kali masih menghantuiku.

Pagi ini setelah setoran hafalan nadzoman kaidah-kaidah grammar arab itu aku langsung mengambil gerobak kemudian mengumpulkan sampah yang teronggok di samping madrasah. Aku punya waktu tiga puluh menit untuk menyelesaikan pekerjaan ini sebelum waktunya persiapan berangkat sekolah.

Pagi yang indah. Dalam segarnya udara pagi kukayuh sepeda pancalku. Menembus ramainya jalan raya. Menyambung kembali mimpi yang sempat terhenti. Deru kendaraan beradu -bergemuruh, membuat pagi semakin sibuk. Suara klakson sahut-sahutan menambah bising. Jalanan macet memang merupakan saat-saat paling menjengkelkan bagi para pengguna jalan. Umpatan-umpatan kasar bahkan seringkali terlontar di tengah jalan. Dan dengan bentuk sepedaku yang mini ini aku bisa menerobos padatnya jalan raya yang macet. Kendaraan-kendaraan mewah itu pun tak mampu mengalahkanku ketika menghadapi keadaan terjepit seperti ini. Aku terus melaju mengejar waktu.

Gerbang sekolahku sudah ramai dengan berpuluh-puluh siswa ketika aku telah sampai. Para pelajar berpakaian putih abu-abu itu dengan tergesa-gesa melewati gerbang untuk kemudian memasuki kelas masing-masing. Sepeda pancalku kuparkir di tempat sepeda motor yang berjajar memanjang. Kuparkir ia di samping motor ninja keluaran terbaru. Sebelum meninggalkannya aku sempatkan melempar senyum geli. Betapa njomplangnya perbandingan si kaya dan si miskin.

Aku menemukan gadis itu sedang memandangku ketika aku sedang melangkah ke masjid untuk duha. Kadang terpikir olehku rasa bersalah karena telah mendiamkannya. Tapi kurasa ini adalah jalan terbaikku. Aku masih ingat ketika dia menangis minta maaf karena aku memintanya menjauhiku. Waktu telah berlalu dua tahun lamanya, dan entah kenapa kini dia mencoba mendekatiku lagi.

Di atas sana, sang surya sudah bergeser ke langit belahan barat. Bell tanda berakhirnya pelajaran pun telah berdering dengan nyaringnya -mewartakan saatnya pulang telah tiba. Membuat semua perasaan tegang menjadi lega. Aku pulang bareng Amir. Kini aku sering pulang bersamanya karena tujuan kami sama. Ke pondok, dan bahkan kamar yang sama. Walaupun kami sudah tak sekelas lagi di sekolah. Aku mengambil jurusan IPS sedangkan dia jurusan IPA, sekelas lagi dengan Mala.

''Gimana Lik? Maya sudah kau temui belum?'' Amir bertanya sambil mengayuh sepedanya. Peluhnya bercucuran terkena sengatan matahari.

''Belum,'' jawabku singkat. Aku segera ingat pada tatapan gadis itu pagi tadi. Namun rasa malas membicarakan gadis yang pernah mengaku menjadi pacarku itu membuatku urung untuk melanjutkan bicara. Setelah kecelakaan itu aku tidak pernah lagi berduaan dengannya. Sebenarnya dia masih sering mengajakku pergi namun tak pernah aku menerima ajakannya itu. Aku tak mau mempertaruhkan imanku di depan gadis Tionghoa itu. Ketika dia mengajakku pergi dan aku menolaknya dia terlihat marah. Tapi sepertinya dia tak mengenal putus asa. Di hari yang lain dia masih juga mendekatiku. Aku berusaha untuk menghindarinya karena aku menyadari dia sudah sering mengajakku berbuat dosa. Dan ajakannya untuk bertemu yang dititpkan lewat Amir itu kuacuhkan saja. Kuyakin seperti ajakan-ajakan sebelumnya, dia akan berhenti mengajakku jika aku mendiamkannya.

''Kamu nggak kasihan melihat Maya kebingungan mencarimu?''

''Dia nggak perlu dikasihani. Kurasa cintanya karena ada maunya. Kami pun sudah lama berpisah. Kau pasti tau, tidak ada hubungan apa-apa lagi diantara kami berdua.''

''Maksudmu dia mau karena kamu juga mau, gitu?''

''Semuanya sudah berlalu. Taukah kamu bagaimana perangai Maya itu Mir?'' tanyaku kemudian.

''Ya aku tahu itu. Mungkin karena dia menyadari kecantikannya jadi dia tidak ingin menyia-nyiakan cowok yang mendekatinya. Semua orang juga menyadarinya. Dia bisa dikatakan dekat dengan semua lelaki. Kukira kau juga menyadarinya. Itu resiko berpacaran dengan gadis cantik. Tapi sekarang dia banyak berubah. Maya menjadi gadis pemurung semenjak berpisah denganmu."

"Aku lupa jalan ke pondok karena dia. Kau harus tau itu Mir. Dan sekarang aku sudah kembali menemukan jalanku kembali ke pondok," kataku lirih.

"Aku salut pada perubahanmu. Gadis secantik dia mengejar-ngejarmu, dan kau tak menggubrisnya. Itu luar biasa Gus. Andaikan aku setampan kamu dan dia mengejar-ngejarku, aku nggak tau apa masih bisa mempertahankan iman apa nggak. Bahkan mungkin aku juga sudah lupa jalan pulang menuju pondok ini.'' Amir kemudian tergelak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tawanya menular padaku.

''Tapi sebenarnya kamu masih suka sama dia kan?'' tanya Amir lagi. Aku diam tak menjawab. Kubiarkan Amir menyimpulkan sendiri jawabannya. Memikirkan gadis itu selalu mengotori pikiranku.

''Hey Brow! Kok diam aja sih? Diam berarti iya kan?'' tanyanya lagi. Kalau didiamkan anak itu semakin ngeyel saja.

''Udah, kalau kau suka buat kau aja,'' ucapku akhirnya.

''Kalau aku sih OK saja. Masalahnya dia mau sama aku apa nggak?'' dia kembali tergelak.

''Wah kalau itu bukan urusanku lagi. Tapi denger-denger kalian sering ngobrol bareng ya?'' Maya sekarang masuk jurusan Bahasa yang kelasnya dekat dengan Kelas IPA dan cukup jauh dari kelas IPS. Karena aku jarang membalas SMS-nya maka seringkali ia menitipkan pesan pada Amir yang kelasnya mepet. Dari situ mungkin mereka mulai akrab satu sama lain.

''Kalau ngobrol sih sering. Dia sering curhat samaku. Tanya-tanya soal agama gitu sih. Dan dia juga cerita kenapa kamu sampai memutusnya. Ia menganggapnya sebagai kesalahan terbesar dalam hidupnya karena pernah menggodamu. Dia sangat menyesal telah khilaf. Dan dia semakin jatuh hati padamu setelah kejadian itu."

"Kau yakin tak ingin balikan sama dia? Maya itu cantik banget lo Gus. Sudah akrab saja aku masih sering jantungan kalau lagi ngomong sama dia.''

''Kalau kamu sering jantungan saat lihat dia mending jauhi aja Mir. Bisa-bisa mati muda kalau kamu teruskan.''

Meledaklah tawa kami.

"Jadi kamu mau kan menemuinya lagi? Barangkali ada hal penting yang ingin dia sampaikan."

Aku pura-pura tak mendengar pertanyaannya.


* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang