Surat Dari Umi(2)

1.8K 109 0
                                    

Kami kemudian terdiam lagi. Aku masih menikmati bakso buatan teman masa kecilku itu. Gerimis masih saja turun. Mendung gelap membalut langit. Seorang lelaki bermotor behenti. Dia membeli bakso. Rama meracik menu dagangannya untuk lelaki berseragam dinas itu. Hanya butuh waktu sekejap saja untuk merampungkan racikan baksonya. Setelah itu dia kembali duduk di sampingku.

''Warga merasa kehilangan sekali setelah kepergian Kyai Suja' Gus. Mereka kehilangan panutannya." Aku diam tidak menyahut. Dia melanjutkan ucapannya. "Kelak kamu yang akan menjadi tumpuan masyarakat. Tempat bertanya dan minta nasehat. Kamu sudah ditunggu orang banyak,'' kata Rama sambil mengelap mukanya dengan sapu tangan yang sedari tadi dia gantungkan di lehernya.

Aku menanggapi ucapan Rama itu dengan senyuman saja. Dalam hatiku merasakan ketakutan mendengar tuntutan yang membutuhkan tanggung jawab besar itu. Rama bertutur lagi melihat aku tak kunjung menanggapi ucapannya tadi.

''Orang yang berbuat baik memang harus selalu siap menerima cobaan. Eh .. tadi kamu dari mana?'' tiba-tiba Rama bertanya sambil tertawa. Mungkin karena melihat pakaianku yang compang-camping. Saat kerja aku memang terbiasa memakai baju seperti pengemis.

''Aku dari nganter barang rongsokan tadi. Hee he..."

"Jadi?"

"Iya. Sekarang aku berprofesi sebagai tukang rongsokan. Lumayanlah hasilnya untuk bantu umi yang harus kerja keras menghidupi kami. Engkau tau sendiri harta orang tuaku habis terkuras untuk pengobatan abah ketika masih sakit dulu itu.''

Rama terdiam. Dia kelihatan bingung harus bagaimana menanggapi ucapanku.

''Nggak masalah sekarang kita susah ya Gus. Kita harus sabar.'' Rama tiba-tiba diam tak melanjutkan kalimatnya walau mulutnya terlihat masih menyimpan kalimat lanjutan. Wajahnya kelihatan terperanjat, namun kemudian segera bisa menguasai diri. Dan kemudian teman masa kecilku itu tergelak entah oleh apa sebabnya. ''Haa ha.. ternyata orang desa kayak kita ini datang ke kota tetap saja jadi orang kere ya haa ha.... Apa memang sudah gitu takdir kita Gus?'' Mendengar tawanya yang lucu aku juga ikut tertawa.

''Tak masalah hidup di dunia ini jadi orang kere. Yang penting di akhirat nanti kita jadi orang yang bahagia, betul nggak?'' aku bertanya meminta persetujuannya.

''Betul-betul. Sekarang saja kita kere kelihatannya. Tapi yang penting hati kita tetap bahagia. Nih buktinya kita tetap bisa tertawa.'' Rama kembali terkekeh. Namun kemudian dia mendadak menghentikan tawanya sambil bergumam.

''Tapi aku juga nggak yakin, nanti di akhirat apa aku bisa bahagia di surga apa malah semakin nelangsa menjadi penghuni neraka. Shalat saja aku sering bolong-bolong Gus.''

''Itu masalahnya Ma, kita tak pernah tau surga apa neraka yang akan menjadi jodoh kita kelak. Tapi kalau kita menyiapkan bekal kebaikan dengan baik pasti kita akan mendapatkan kebahagiaan di sana. Di surga. Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha kita. Allah menjanjikan setelah kesusahan ada kemudahan. Pepatah mengatakan berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu baru kemudian bersenang-senang. Kalau kita di dunia bersusah-susah diri menyiapkan bekal akhirat, insyaallah nanti di sana kita tidak akan kesusahan. Dan yang tak kalah penting lagi adalah kita harus selalu bisa menikmati hidup. Dalam keadaan seperti apa pun. Susah atau senang. Yakni dengan cara mensyukuri apa yang ada. Dan jangan lupa, agar nanti kita bisa mendapat tiket menuju surga kita harus melaksanakan shalat lima waktu dengan baik. Shalat adalah ibadah wajib yang akan menjadi tolok ukur keimanan seorang muslim. Jika shalatnya baik maka seluruh amal ibadahnya akan dianggap baik.''

"Wah-wah. Sepertinya Kyai Suja' junior sudah siap terjun ke masyarakat ini," ucapan Rama itu dipungkasi dengan tawa.

Kami ngobrol hingga rinai hujan yang turun semakin tipis.

Akhirnya aku memutuskan untuk berpamitan pulang setelah hujan benar-benar reda beberapa saat kemudian. Meninggalkan teman lama yang kini telah begitu jauh berubah. Tidak lagi ingusan seperti dulu. Rambut kuncirnya membuat tampangnya tambah sangar.
Aku terus mengayuh sepedaku. Putaran ban sepedaku itu berpacu dalam kecibak sisa-sisa air hujan yang masih menggenang di jalan.

* * *

Aku sudah bersiap-siap pulang. Ketika aku keluar dari tempat parkir kulihat Maya berjalan menghampiriku. Aku pura-pura tidak tahu. Namun aku harus turun lagi dari sepeda karena dia sudah berada di depanku. Dia mencegatku.

"Aku mau ngomong sebentar Lik. Bisakah kita ke warung depan sebentar saja?" Maya berucap dengan raut murung. Kulihat wajahnya begitu segan untuk mengucapkan hal itu kepadaku. Benar ucapan Amir, dia memang tampak berubah. Dahiku mengernyit untuk mencari jawaban atas ajakannya itu.

"Katakan saja di sini, kan bisa Ya?" jawabku. Dia terlihat berpikir beberapa saat. Wajahnya terlihat kusut.

"Nggak bisa di sini Lik. Aku tak ingin ada orang yang mendengar obrolan kita." Maya semakin terlihat memelas. Aku mulai curiga. Mungkin dia mau menjebakku lagi. Aku pun harus segera pulang untuk membereskan sampah-sampahku.

Aku masih sangat ingat hari ketika turun hujan lebat itu. Aku tidak habis pikir penggerak rohis putri seperti dirinya ternyata berdandan begitu vulgar ketika di rumah. Aku yang sudah hampir tercebur dalam liang perangkapnya harus berhati-hati. Memalukan sekali kalau sampai terperangkap dalam lubang yang sama sampai dua kali.

"Maaf Ya. Aku nggak bisa. Tumpukan sampah sudah menungguku. Aku harus pulang sekarang." aku naik sepedaku. Dia terlihat kecewa.

"Kita tidak akan bertemu lagi!" Maya setengah berteriak. Aku menoleh sebentar, bermaksud memahami ucapannya. Namun hatiku mendorongku untuk berlalu. Aku pun meninggalkannya dengan membawa bergumpal-gumpal pertanyaan. Dan Maya berteriak lagi, "Maafkan aku Lik!" dadaku bergetar. Suaranya terdengar parau. Tapi aku terus berlanjut walaupun hatiku gelisah. Aku terus berlalu sambil berusaha membuang wajahnya dari kepalaku.

Hari pun berlalu. Dan ternyata ucapan Maya kemarin tidak main-main. Buktinya sampai beberapa hari kemudian tak juga kujumpai dirinya. Entah pergi kemana gadis itu. Mungkinkah dia pindah sekolah? Atau dia tidak diperbolehkan sekolah oleh papinya? Ah, dia pasti sedang bersandiwara! Kenapa aku jadi memikirkannya? Aku tidak boleh memikirkannya! Biarlah dia pindah sekolah kalau memang mau pindah. Dia meninggalkan dunia ini pun aku tidak akan peduli. Toh, Aku sudah lama melupakannya. Kalaupun sekarang aku teringat dirinya itu karena ulah dirinya. Besok aku pasti sudah bisa melupakannya.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang