Gadis Pemilik Rahasia(1)

2K 138 1
                                    

Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Rasa ngantuk yang bercokol di mataku kutahan-tahan. Rasanya belum tenang untuk tidur jika belum shalat dulu. Tapi ternyata mataku semakin terasa berat. Dan akhirnya aku mengalah pada kantuk. Dengan hanya memakai singlet aku merebahkan badan. Berharap tidur akan menyembuhkan kepenatan tubuh ini.

Belum lama aku merebahkan diri, pintu kamar terbuka dengan suara berderit menyebalkan. Suara pintu itu seperti bocah tercekik.

''Waduh santri kok tiduran terus, kapan ngajinya?'' suara khas Amir membuat mataku terbuka semakin lebar. Kantukku hilang entah ke mana.

''Ganggu orang tidur aja Mir,'' aku menimpali candaannya dengan amarah.

''Jadi berangkat ke Jogja?"

"Jadi lah."

"Kapan?"

"Belum tau. Mungkin lusa."

"Alhamdulillah. Akhirnya pemulung seperti kamu bisa juga kuliah ya."

"Kamu juga pemulung, ingat kamu bekerja padaku. Jongos," serangku sambil terkial. Amir terbahak-bahak. Beasiswa bidikmisi itu nyata-nyata memicu syaraf kebahagiaannya.

"Oh ya Gus, tadi aku dititipi surat oleh Ali ketika mampir ke kantor pondok.'' Amir sudah ikut merebahkan badannya di sampingku.

''Surat apa Mir? Dari siapa?"

''Nggak tahu. Buka saja sendiri. Ali hanya menitipkannya untuk diberikan padamu tanpa mengatakan siapa pengirimnya.''

Aku masih males mau baca surat itu. Aku hanya melihatnya sekilas. Di amplop itu tertulis tujuan surat kepadaku, namun tidak ada nama pengirimnya.

''Kenapa sih mesti ninggalin Al-Huda kalau cuma mau kuliah bahasa Arab?'' Amir mengembalikan tema pembicaraan.

''Hijrah Mir, hijrah. Sudah kubilang pikiranku buntu di sini. Aku ingin berubah. Aku ingin ngapalin alfiyah buat nglunasi utang sama Yai. Buat menyenangkan hati orang tua juga. Kuharap Jogja bisa menjadi tempat persinggahan yang bisa menjadi tempat pijakanku selanjutnya.''

Amir tersenyum sinis tanpa memandang wajahku. "Ngguyumu nggak uenak Mir. Ngece koen?"

"Serius kamu mau hijrah ke sana? Yakin kamu bisa move on dari dia? Atau kamu malah ingin semakin dekat padanya? Jogja dan Kudus kan tidak terlalu jauh? Percuma kalau ragamu hijrah tapi hatimu tidak move on. Kau justru akan semakin tersiksa."

Lagi-lagi aku tidak suka dengan gaya bicara Amir yang nyeramahi. Walau kutahu dia berniat baik padaku.

"Tau apa kau tentang aku? Maafkanlah. Kali ini aku tidak dapat menerima saranmu. Lagian aku tidak akan menyia-nyiakan beasiswa itu."

''Ya udah kalau kau sudah mantab. Jangan lupa sama jongosmu ini di sana nanti. Oh iya, minta doa restunya aku berencana jadi pengepul barang bekas, biar naik derajat. SMA jadi pemulung, kuliah jadi pengepul. Biar gak jadi kaum buruh terus. Hahaha. Eh, uangmu masih ada seratus ribu di aku.''

"Yo. Ambil aja buat nambah modalmu Mir."

"Alhamdulillah. Kamu memang teman baikku."

"Emang kamu sudah punya tempat untuk menampung rongsokannya?"

"Kalau aku belum punya. Tapi Allah punya segalanya. Nggak usah kuatir."

"Luar biasa ketauhidanmu Mir. Jangan-jangan nanti kamu diambil menantu sama Yai?"

"Ngawur!" muka Amir seketika memerah. Aku menanggapinya dengan deraian tawa.

"Aku masih punya tabungan, mungkin kita tetap bisa kerja sama. Tabungan yang kurencanakan untuk biaya kuliah itu nganggur karena beasiswa yang kita peroleh sudah lebih dari cukup untuk kehidupan sehari-hari. Gimana kalau aku ikut tanam saham untuk sewa tempat?"

"Wah-wah. Allah memang tau apa yang kumau. Aku sangat senang mendengar rencanamu itu. Biar kita tetap keep in touch walau kita jauhan. Kau ada dana berapa emangnya?" Amir menjawab dengan sumringah.

"Sedikit sih. Nggak ada sepuluh juta memang. Tapi kalau kau mau sewa sembarang tempat, apalagi yang agak daerah pinggiran mungkin tinggal nambahi sedikit."
"Ide cemerlang. Wah, padahal kukira aku cuma mimpi saat aku curhat ke emak soal ini kemarin. Semoga bisa cepat terealisasi. Untuk modal aku sudah ada hutangan. Insaallah ini akan segera menjadi nyata."

"Ternyata otak enterpreneurmu lumayan juga Mir," aku menimpali ucapan Amir yang wajahnya sedang berbinar-binar itu.

Tak berapa lama kemudian Amir sudah mulai mendengkur. Dan suara bedug di serambi masjid menggelegar diikuti suara kentongan yang bertalu-talu. Suara adzan berkumandang kemudian. Berjarak agak lama dengan tabuhan bedug tadi. Suara adzan itu cempreng mengganggu telinga. Pastilah itu Si Ali yang tak nemu tukang adzan. Dia adalah muadzin dlorurot. Kalau nggak ada yang mau adzan sama sekali baru dia yang maju. Karena hanya badal maka jangan salahkan suara cemprengnya. Begitu mungkin alasan dia sampai berani adzan dengan suara yang sedemikian mengharukan.

Aku urung untuk mengambil air wudhu karena mengingat surat yang dibawa Amir tadi. Rasa penasaran menundaku untuk bersegera pergi ke jedhing. Aku segera membuka segel amplop itu. Surat itu berisikan tulisan tangan yang indah. Yang kucari pertama kali adalah pengirim suratnya. Surat itu ada dua lembar. Aku bolak-balik mencarinya. Di bagian bawah kertas itu tertulis nama Saina Mayasa. Dia ternyata Maya, teman SMA yang keturunan Tionghoa itu. Aku semakin penasaran apa maksudnya mengirimiku surat. Semenjak kejadian di pabrik mangkrak itu aku sudah tak penah menjumpainya. Seperti apa keadaannya sekarang? Tiba-tiba aku dikuasai perasaan ingin tahu yang sangat.


* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang