Surat dari Umi(1)

2K 118 0
                                    

Dengan lampu temaram yang menyinari damparku sepucuk surat balasan untuk umi kembali aku baca. Hampir satu jam aku menulisnya. Di sampingku, lima orang teman sekamarku tengah terlelap dalam buaian mimpi. Dengkuran lembut mereka menemaniku melawan kantuk.

Sambil bersandar di tembok aku mengecek surat yang baru saja selesai aku tulis. Aku tidak ingin ada kata salah yang dapat membuat umi sedih.

Assalamualaikum Wr. Wb.

Ahamdulillah Malik di sini dalam keadaan baik Mi. semoga keadaan yang sama juga menyertai Umi dan Aisyah di rumah.

Surat Umi telah Malik terima. Salam juga buat Aisyah. Malik di sini juga sudah kangen. Tapi Malik tidak mungkin pulang setiap saat karena masih punya tanggungan belajar. Nanti kalau liburan telah tiba Malik insaallah akan pulang.

Malik bisa menyadari keadaan Umi. InsyaAllah Malik akan sabar menjalani semuanya. Serta doakan Agar Malik bisa melaksanakan semua nasehat Umi. Sekolah Malik lancar-lancar saja. Begitu juga dengan pelajaran di pesantren.

Untuk masalah uang saku Umi tak perlu merasa risau. Malik telah mendapat beasiswa, jadi uang kiriman Umi InsyaAllah akan tetap mencukupi. Oh ya, Malik mohon doanya agar nanti saat melaksanakan ujian akhir nasional bisa lulus.

Mungkin itu yang bisa Malik tuliskan untuk saat ini Mi.
Semoga bisa membuat Umi merasa tenang.
Salam rindu untuk Umi dan Aisyah.

Muhammad Ibnu Malik
Wassalam
.

Setelah selesai membaca ulang surat untuk umi ini aku ambil amplop untuk membungkusnya. Aku meletakkannya di lemariku kemudian menyusul teman-temanku merebahkan badan. Akan tetapi pedasnya mataku tak juga membuatku segera menyusul teman-temanku yang lelap dalam tidurnya. Kecamuk gelisah masih membuatku terjaga walau malam telah benar-benar larut. Menguap berkali-kali tapi tetap tidak bisa menggiringku untuk tidur.

Maafkan aku membohongimu Mi. Aku tak berniat untuk menyakitimu. Aku hanya ingin melihat engkau bahagia. Aku tidak ingin engkau bersedih ketika kau tahu bahwa aku mencari penghasilan sebagai tukang sampah sekaligus tukang rongsokan. Aku tidak berdosa
kan Mi?

* * *

Rintik gerimis berjatuhan membasahi bajuku. Tapi tak mengapa. Perasaan senang setelah menerima uang hasil penjualan barang bekas tadi membuat semuanya terasa indah. Langit mendung pun terlihat indah. Begitulah yang aku rasa.

Aku terus menggenjot pedal sepeda membelah rintik gerimis yang mulai deras. Titik -titik hujan itu tak berapa lama kemudian berubah menjadi hujan. Para pengendara sepeda motor berhenti di pinggir jalan untuk kemudian mengeluarkan mantel dan memakainya. Aku bergegas menepi untuk berteduh. Terlihat sudah ada beberapa orang yang lebih duluan berteduh. Seorang penjual bakso merapat untuk melindungi dagangannya. Dan hujan semakin deras. Mendung abu-abu yang menggantung di atas sana seperti menumpahkan semua beban beratnya. Tempias hujan membasahi lenganku. Tubuhku mulai menggigil.

Hujan lebat ini membawa berkah bagi pedagang bakso. Gerobaknya kini telah dikerumuni banyak orang. Merasakan bau sedap bakso itu membuat perutku semakin lapar. Dengan uang yang baru saja aku terima rasanya aku tidak salah jika ikutan membeli bakso itu.

''Bakso Mas!'' lirih suaraku memesan bakso.

''Ok. Pakek apa Mas?''

''Hmmmmm...campur aja Mas.''

''Ok. Silahkan ditunggu dulu Mas.'' Dengan wajah sumringahnya penjual bakso itu meraih mangkok. Dengan tangan cekatannya berbagai komposisi bakso itu segera masuk dalam mangkok.

Sambil menunggu pesananku selesai aku mengamati penjual bakso itu. Rambut hitam mengombaknya diikat rapi ke belakang. Menjuntai hingga ke bahu. Tubuhnya tinggi tegap. Kumis tipis menghiasi bagian atas bibirnya. Walau tubuhnya kekar tapi kentara sekali kalau umurnya masih sangat muda. Dan aku merasa pernah mengenalnya setelah beberapa saat menatapnya. Orang itu seperti pernah ada dalam ingatanku. Aku berusaha keras untuk mengingatnya. Rasanya aku tak salah lagi, dia adalah Rama. Temanku bermain saat masih kecil dulu. Aku tak sabar ingin segera menyapanya, memastikan bahwa dia adalah teman masa kecilku itu.

''Ini baksonya Mas.'' Pemuda yang kuyakini adalah Rama itu menyerahkan semangkok bakso kepadaku. Uap panas mengepul di atasnya menggugah selera.

''Eh Mas. Kayaknya aku pernah lihat sampean. Apa kamu orang Blitar?"

"Iya Mas."

"Kamu Rama ya? yang membuatkan aku obor dari bambu dulu itu?'' kulihat Rama bengong menatapku. Kemudian sesungging senyuman merekah dari bibir kehitam-hitamannya. Dia memang lebih tua dariku. Tapi karena dia murid abahku jadi aku terbiasa memanggil namanya langsung tanpa embel-embel Mas, Cak atau panggilan penghormatan yang lain.

''Ya Ampun! Iya... iya... aku ingat sekarang. Sampean Gus Malik kan? Putranya Kyai Abu Suja'?"

Aku menjawab tebakannya dengan senyum lebar.

"Ya... ya aku masih ingat kenangan itu. Kamu merengek-rengek minta dibuatkan obor dari bambu kepada Bapakmu saat itu. Tapi Bapakmu tidak mau karena harus meneruskan pengajiannya. Kemudian Beliau menyuruhku untuk membuatkanmu. Iya... iya... walau sudah lama sekali aku akan tetap mengingatnya.''

Kami kemudian berbagi tawa mengingat masa lalu kami yang menggelikan. Dia dulu nakal sekali. Sukanya mengganggu anak perempuan yang mau berangkat mengaji. Mengambil bukunya lalu dibawa lari. Tapi dia akan segera mengembalikannya jika melihatku. Dia takut padaku. Mungkin lebih tepatnya takut pada abahku.

''Tapi gimana ceritanya kamu bisa sampai nyasar di kota ini?'' Sambil mulai memakan bakso aku bertanya.

''Ceritanya panjang Gus. Setelah lulus SMP aku ikut pamanku ke Kalimantan. Tak sampai setahun kemudian aku pulang kampung karena tak betah menjadi babunya. Di sana aku membantu pamanku bersih-bersih piring atau apa pun yang bisa dibersihkan. Hal itu membuatku tak krasan. Maklum aku kan masih kecil? Setelah hampir dua tahun nganggur aku diajak tetangga sebelah untuk jualan bakso di sini. Kamu sendiri gimana ceritanya?"

"Abah menyuruhku sekolah sambil mondok di sini. Ya udah. Aku ngikut aja."

"Oh ya maaf aku tak bisa takziyah saat abahmu wafat Gus. Aku ikut berbela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas musibah itu Gus.''

''Aku tahu kesibukanmu,'' tiba-tiba aku ingat abah. Ternyata kesedihan itu belum benar-benar pergi dariku.

''Maaf Gus, ini kata orang-orang kampung. Katanya abahmu meninggal karena adanya pembunuhan? Apa itu memang benar?''

''Aku nggak tahu bagaimana kejadian sebenarnya."
Kami kemudian terdiam. Hujan masih turun deras. "Memang ada yang tak senang terhadap kehadiran abahku di desa itu. Ceritanya abah menolak permintaan seorang pengusaha yang ingin membeli tanah abahku untuk dijadikan supermarket atau apalah, aku nggak begitu paham. Abah kasihan pada warga sekitar karena dikuatirkan akan surut pembeli toko-toko kecilnya dengan kehadiran supermarket itu. Setelah kejadian itu memang muncul hal-hal aneh. Orang banyak yang mengaitkan peristiwa itu dengan pengusaha kaya itu. Tapi aku tak tahu juga. Kami berhusnudzan saja. Kalaupun itu benar, peristiwa itu hanya sebagai lantaran saja. Kuasa Tuhan tetap berjalan diatas segalanya.''

''Menurut cerita yang pernah kudengar saat pulang kampung dulu, tanahmu itu memang mau dibeli oleh seorang jutawan etnis Cina. Sangat mungkin tabrak lari itu didalangi oleh orang itu. Tapi memang lebih aman tidak melanjutkan perkara itu. Toh tidak ada bukti yang kuat.''


* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang