Mendadak Jadi Ustad(1)

1.9K 154 3
                                    

Sehabis kuliah aku kembali mencarinya.

Mataku menelisik ke segala penjuru. Mencari gadis berjilbab ungu yang tiba-tiba menghilang di tikungan jalan. Kupercepat kakiku mengayuh pedal, menerobos mahasiswa-mahasiswi yang lalu-lalang. Tiba-tiba terlihat olehku di kejauhan kutemukan dirinya tengah berjalan bersama dua orang gadis. Rupanya mereka mengambil jalan pintas. Semakin cepatlah kakiku mengayuh. Tak berapa lama kemudian aku sudah hampir mensejajari mereka. Teriakanku berhasil menghentikan langkah mereka. Fiya nampak kaget melihatku ngos-ngosan mengejarnya. Kusunggingkan sedikit senyum untuk mengurai kebekuan.

"Berhentilah sejenak. Kita ngobrol baik-baik ya," ucapku memelas. Kedua temannya telah kembali melangkah setelah sempat kulihat saling berbisik. Dan aku kembali terkesiap. Bukannya menanggapi ucapanku, Fiya malah berbalik badan untuk kemudian kembali meneruskan langkah menyusul kedua temannya. Aku kembali mengayuh pedal. Detik berikutnya aku sudah berhasil menghadang jalannya.

"Bisakah kau bersikap sedikit sopan dengan tidak menghalangi jalanku?" ucapnya sinis. Raut wajahnya telah dibelit amarah.

"Aku cuma mau jelasin yang kemarin agar tidak ada kesalah pahaman diantara kita," kataku lagi.

"Bukannya kemarin kamu ingin kita saling mengambil jarak? Kenapa sekarang kau mengejar-ngejarku?" teriaknya.

"Tenanglah sedikit," aku mulai kewalahan meladeni retorikanya.

"Tenang bagaimana? Kau telah membuat aku ketinggalan dari teman-temanku."

"Tak perlu khawatir. Aku bisa mengantarmu," dia melengos. "Aku ingin kamu tau kalau aku sudah lama sekali tidak komunikasi dengan Maya. Dan aku,,"

"Sudah. Cukup. Tidak perlu kau teruskan. Aku sudah tau semuanya."
Fiya kembali berjalan. Tak menggubris diriku yang berusaha menghalanginya.

"Lepaskan!" teriaknya.

"Tidak akan. Sebelum kau mau mendengar ucapanku."

"Aku akan teriak kau mau berbuat jahat padaku jika tak mau menyingkir!"

"Kenapa kau jadi sebegini memusuhiku?"
Tanpa menjawab pertanyaanku dia kemudian berlari meninggalkanku. Kulihat tangan kanannya mengusap matanya. Seketika dadaku sesak. Aku kembali gagal mengajaknya bicara. Ditengah rasa sesak yang memenuhi dada muncul kecurigaanku pada sikap aneh Ning Fiya semenjak kemaren. Darimana dia muncul sangkaan aku dekat dengan Maya?

* * *

Sikap Ning Fiya membuatku sangat gelisah. Tarikan nafasku pun dihantui rasa bersalah. Di tengah-tengah gundahku terbersit keinginan untuk cerita pada Amir. Bercerita pada sahabat baik tak jarang dapat mengurai benang kusut kegelisahan.

Beberapa saat kemudian aku sudah tersambung dengannya.

"Ya memang bener ucapannya Ning Fiya itu, kan dia cuma meniru ucapanmu hari sebelumnya?"

"Iya sih."

"Terus kamu nggak ngejar dia lagi?" tanya Amir lagi.

"Ya nggak lah, daripada dikira mau berbuat yang nggak-nggak? Bisa dihajar massa aku," aku menimpali ucapan Amir dengan enggan.

"Mungkin ini jalan bagi kalian untuk berpisah. Bukankah memang itu yang kamu inginkan?"

"Iya sih. Tapi bukan gini jalannya. Aku ingin menjauihinya tanpa membuatnya merasa tersakiti."

"Apa dia merasa tersakiti?"

"Maksudmu," tanyaku.

"Apa dia merasa tersakiti?"

"Iya."

"Macam malaikat saja bisa baca hati orang Gus?"

"Aku bukan malaikat. Aku hanyalah manusia biasa, tapi aku juga punya perasaan. Aku pun bisa merasakan bagaimana rasanya seandainya aku jadi dia. Koen ancen gak due perasaan Mir. Nggak ngerti perasaan wanita itu seperti apa. Wajar aja ente jadi jomblo permanen," dengusku kesal. Dari ujung telpon kudengar Amir malah terkekeh-kekeh.

"Itulah anehnya kamu. Sudah tau aku nggak paham urusan wanita masih saja kamu bertanya padaku."
Amir semakin terkekeh-kekeh. Aku merasa begitu bodoh.

"Aku ini niatnya ngajarin kamu bagaimana caranya menyikapi wanita yang misterius. Jangan sampai kamu tertular virus gay!"

"Bisa aja ngelesnya hahaha. Kalau soal itu aku mah tak perlu belajar. Santai aja keles. Jodoh sudah ada di tangan Tuhan. Jodoh tak akan kemana-mana. Tak kan lari gunung dikejar hahaha," kata-kata mutiara Amir sudah semakin tak terkendali keluar dari mulutnya yang licin. Tawanya mulai menyebalkan lagi.

"Jodoh memang tak kemana-mana. Tapi kalo tak diambil ya lari kemana-mana," jawabku sekenanya.

"Sudah-sudah. Urusi saja masalah jodohmu. Toh kamu yang dari dulu ngurus itu nggak kelar-kelar kan? Mending jomblo salaf kayak aku gini. Habisin waktu buat tugas kuliah. Biar pintar. Siapa tau besok jadi dokter."

"Jadi dokter sono. Kuliah teknik sipil cita-cita jadi dokter. Bisa-bisanya pemerintah kasih kamu beasiswa Mir?"

"Sudah. Silahkan dilanjutkan galaunya. Aku mau ngaji dulu. Hmmm. Intinya, kalau aku jadi kamu mending fokus kuliah. Fokus mondok. Biarlah Ning Fiya mengobati lukanya sendiri. Eh, kamu juga terluka bukan? Dan obatnya ya saling merelakan. Melepas dengan ikhlas. Cari kesibukan lain yang positif. Biar nggak gendeng. Hai Gus, Ciri-ciri gelapnya hati itu terlalu merisaukan hal-hal yang sudah dijamin sama Gusti Allah bukan???"

Amir kemudian menutup telpon dengan salam. Lagi-lagi aku harus merenungi ucapan mantan jongosku ini.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang