Kabar Duka(1)

2K 139 0
                                    

Pagi ini pesantren Al-Huda begitu lengang. Pengajian yang biasanya dilaksanakan setelah jamaah shalat shubuh itu diliburkan. Pengajian tentang tasawuf yang diasuh langsung oleh Kyai Dim itu adalah rutinitas kami sebelum berangkat sekolah -walau aku sering tidur saat ngaji. Dan ketika pengajian usai kantuk itu biasanya hilang. Anehnya bukan hanya aku yang mengeluhkannya. Rata-rata temanku seperti itu.

Akhir-akhir ini memang kondisi kesehatan Kyai Dim sering terganggu. Akan tetapi biasanya jika beliau tidak bisa mengisi pengajian; Kyai Mursyid - menantu beliau, atau Kyai Latief -putra bungsu Kyai Dim itu yang menggantikannya. Tapi entah kenapa pagi ini sama sekali tidak ada pengajian. Tentu saja ini adalah kabar baik bagi santri pemalas sepertiku. Aku segera kembali ke kamar dan memeluk bantal begitu mendengar pengumuman libur pengajian. Sialnya belum semenit tidur aku sudah dibangunkan teman-temanku. Giliran kamarku piket membersihkan komplek. Dan aku hampir terjengkang karena tertidur lagi saat duduk dan Ikhsan membentakku.

Aku pergi ke menara setelah membuang sampah. Kantukku telah hilang bersamaan dengan sampah yang kubuang tadi.

Suara hembusan angin yang berdesis membisikkan kidung kedamaian dalam gendang telingaku. Suasana pagi yang tenang mengajakku merenungi perjalanan hidupku selama ini. Dosa-dosa yang berserakan memenuhi ruang hati. Lembar-lembar kelam alur hidupku menyembul ke dalam pikiran. Andaikan dapat tubuh ini berbicara, mungkin akan kudengar jerit-tangisnya karena seringnya kupaksa untuk melakukan dosa. Kelak, mereka akan menjadi saksi di setiap dosa yang telah aku lakukan. Betapa mengerikannya jika aku harus mempertanggung jawabkan semua kesalahanku itu.

Ah, aku memang begini ; seolah baik jika sedang sadar. Tapi jika nafsu sudah datang semua kesadaran-kesadaran itu entah kemana perginya.

Tiba-tiba kudengar suara langkah kaki seseorang mendekat ke arah menara. Telingaku sedikit terusik olehnya. Siapakah dia? Ah, aku tak peduli. Aku masih ingin melanjutkan suasana sepi ini. Merangkai kembali mimpi-mimpi yang koyak seiring berjalannya waktu aku menginjak dewasa. Beberapa kejap kemudian pikiranku telah melayang ke alam lamunan -tak menghiraukan suara langkah kaki itu. Aku masih terngiang dengan ucapan Kang Solihin beberapa hari yang lalu. Aku ingin segera pulang namun umi memintaku sampai liburan datang -yang memang tinggal sebentar lagi. Kabut pagi yang menyelimuti gunung putri tidur itu menghalangi pandanganku atas gunung cantik yang sedang tidur itu. Kabut juga seolah menutupi mataku yang tak mampu melihat apa sebenarnya yang sedang terjadi di kampung sana.

Tapi akhirnya lamunanku terhenti juga. Panggilan itu memaksaku untuk beranjak. Entah kenapa suara Amir itu terdengar parau.

''Lik, Malik.... Kamukah yang di menara itu?'' Teriaknya. Dan aku urung untuk mengeluarkan suara untuk menjawab panggilannya. Aku hanya melongokkan kepala ke lubang dinding menara untuk menunjukkan diriku.

''Waaah, dipanggil kok diam aja sih kamu nih. Medun o onok berita penting!''

''Opo?''

''Wes talah muduno disek!'' teriak Amir lagi. Wajah polosnya menyimpan gurat-gurat kesedihan. Aku segera turun menghampirinya.

''Berita penting apa yang kau bawa Mir?''

''Beberapa hari ini nggak ada pengajian ternyata karena Yai Dim sakit keras.''

''Kalau itu sih aku sudah tau Mir. Tadi Cak Agus cerita samaku,'' cerita dari Cak Agus itu pula yang membuat kantukku benar-benar hilang saat membuang sampah tadi. Santri senior itu tergesa-gesa ke ndalem ketika yang lain telah kembali terlelap dalam buaian selimut pagi. Dia pun menjawab pertanyaanku sambil bergegas ke ndalem.

''Sekarang Yai Dim sudah pulang ke rahmatullah.''

Seketika tubuhku lemas. Kyai penyayang itu adalah guru yang sangat kutakdzimi sekaligus kucintai. Dan kini sosok berwajah teduh itu telah pergi untuk selamanya.

Di sebelah barat, sang putri tidur semakin tidak tampak karena diselimuti kabut putih yang semakin menebal. Dan warna langit yang cerah itu pun tak berlangsung lama karena sebentar kemudian cakrawala langit timur sudah tak menampakkan adanya cahaya mentari pagi lagi. Biru langit pun seakan juga ikut berbela sungkawa dengan menampakkan warna kehitam-hitaman tersaput mendung. Alam seolah ikut berduka karena seorang kekasih Penciptanya telah tiada.

Tapi mungkin peristiwa alam itu tiada kaitannya dengan peristiwa kematian ini. Sejarah pernah mencatat peristiwa yang hampir serupa dengan hal ini. Ketika putra Nabi Muhammad yang bernama Ibrahim meninggal dunia, ada peristiwa alam yang luar biasa. Ketika itu terjadilah gerhana matahari. Kemudian banyak sahabat Nabi yang mengaitkannya dengan meninggalnya Sayidina Ibrahim. Ternyata Nabi menampik perkiraan mereka. Gejala alam itu merupakan peristiwa alam biasa yang tidak ada kaitannya dengan kematian seseorang.

Beberapa saat setelah aku mendengar berita wafatnya Kyai Dim suasana di ndalem sepuh benar-benar ramai. Teras rumah yang berhias batu marmer itu telah tertutupi oleh lautan manusia. Aku mengamati setiap pelayat yang membludak sampai ke komplek-komplek pondok. Barangkali abahku adalah salah satu di antara petakziyah itu. Maka aku menajamkan pandangan mataku guna menemukan sosok yang telah menyuapiku dengan kasih sayang itu. Tapi hingga leherku terasa kaku belum juga aku menemukannya.

Suara santribergemuruh membaca surat Al-Ikhlas. Maka masjid itu membahana. Ratusan santridan kemudian juga diikuti oleh para petakziyah lainnya melantunkan surat yangpahala membacanya setara dengan sepertiga Al-Qur'an itu. Melepas kepergian sangguru yang begitu ditakdzimi, ditaati oleh semua orang. Akan tetapi aku tidakbisa khusuk. Seberapa pun aku mencoba menunduk agar bisa khusuk tapi malahkeresahan yang aku rasa. Mataku tak lepas memandangi para petakziyah yang kianmembludak. Mengamati tiap wajah yang begitu redup menahan sedih.


* * *

Bersambung


Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang