Aku berharap, agar kamu dan aku akan selalu tetap bersama, sampai tak ada kata 'Selamat Tinggal' diantara kita.
-- Marsha Aurellia Agnessia
******
Kedua mataku terbuka secara perlahan, kemudian menyipit untuk menyesuaikan cahaya yang berada di dalam ruangan ini. Entahlah, sekarang aku sedang tidur atau apa, rasanya sangat memusingkan ketika bangun.
"Kamu udah bangun, nak?"
Suara khas dari wanita paruh baya memenuhi pendengaranku, sontak aku menoleh ke sumber suara.
Aku tersenyum dan menganggukan kepalaku pelan sebagai respon.
Wanita paruh baya pun itu tersenyum kepadaku juga.
"Tadi kamu pingsan waktu digendong sama pacar kamu kesini, dia keliatannya khawatir banget, apalagi ngeliat muka kamu yang pucet. Dia orang yang baik ya?"
Keningku mengerut kedalam, sebenarnya apa yang dimaksud wanita ini? Pacar? Bagaimana bisa? Seumur hidupku sampai sekarang saja aku tidak pernah merasakan yang namanya pacaran.
"Pacar?" tanyaku lebih jelas.
"Iya, laki-laki yang menggendong kamu kemari, pacar kamu kan?" jawab wanita di depanku ini dengan ekspresi bingung.
Aku berpikir sebentar, mencoba menerawang kejadian sebelumnya.
"Ahhhh itu!!!" kataku semangat ketika mendapatkan jawaban dari kebingungan ini, bahkan saking semangatnya, wanita paruh baya di depanku ini terlonjak kaget sampai ia hampir berdiri dari tempat duduknya. Sebenarnya aku ingin tertawa, tapi takut mendapat karma.
"Kevin maksud ibu?" tanyaku lagi.
"Ibu nggak tahu siapa namanya," wanita itu menggelengkan kepalanya.
"Terus sekarang Kevin dimana, bu?" aku melihat sekitar, ternyata ini adalah salah satu kamar di villa ini.
"Tadi sehabis dia bawa kamu kesini, dia keluar sebentar katanya mau minum obat, dadanya sakit."
Aku mengangguk memaklumi. Memang, Kevin dadanya selalu sakit jika melakukan hal yang berat, apalagi tadi dia mengangkutku cukup lama. Aku jadi menyesal telah mengiyakan permintaanya untuk menggendongku.
"Hm, bu, makasih ya sudah mau merawat saya, saya rasa badan saya udah agak mendingan, jadi saya mau keluar saja, boleh?" izinku kepada wanita di depanku ini. Yang aku perhatikan, sepertinya dia pembina PMR.
Wanita di depanku mengangguk kemudian tersenyum,
"Baiklah, kamu boleh keluar."Seusai mengucapkan terima kasih lagi, aku pun keluar dari kamarnya dan mengayunkan kaki ku untuk keluar untuk beralih ke Villa Siswa.
Sebenarnya sekolahku menyewa dua villa, satu untuk para staff dan guru, dan yang lainnya untuk para siswa. Jadi, aku harus keluar dari villa guru ini dan menuju ke villa satunya.
Langkah demi langkah aku tempuh, terkadang aku merasa bingung dimana pintu keluar, karena disini hanya terlihat kamar dan kamar, entah pintu menuju keluar dimana.
Tetapi, keberuntungan menghampiriku, tidak butuh waktu yang lama untuk mencari pintu keluar, karena pintunya sudah ada didepanku.
Aku mengembangkan senyum ketika sudah di luar villa, pemandangan luar membuatku terhenyak sebentar, ternyata awan sudah menghitam, dan sang raja siang sudah tidak menampakkan dirinya. Ternyata aku pingsan cukup lama juga.
"DORRRRR!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"
"KYAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"
Aku menjerit sambil membulatkan mataku, karena tiba-tiba saja sebuah teriakan cukup keras dan sentakan sebuah tangan di bahuku mampu membuatku terkejut bukan main.
KAMU SEDANG MEMBACA
Illusion
Teen FictionBagiku ilusi adalah hal yang tak bisa kumiliki, dan bagian dari ilusi itu adalah harapan dan kamu. - Marsha Agnessia Aurellia. Maafkan aku yang tak bisa menjadi orang yang kamu mau, tetapi, sekarang aku telah percaya kalau penyesalan selalu datang t...