"Yah masnya ditolak!" ucap Meysa iba.
Aku melihat wajah Kevin yang tertunduk kecewa, sejujurnya aku kasihan kepadanya sudah aku tolak di depan muka umum. Tapi apalah daya, aku juga tidak ingin menjatuhkan harga diri ku karena suara ku yang sumbang ini.
"Ah nggak seru! Mending gua ke toilet!" kata Meysa kemudian ia langsung lari ke toilet dekat kelas.
"Yaudah sama Zahra aja lagi," mohon salah satu cewek yang mungkin ia adalah salah satu penggemar Kevin.
Kevin kemudian diam dan tak mau berkutik lagi.
"Wah! Gua kelewatan apa nih?"
Deg!
Suara bariton menyebalkan itu tiba-tiba menggemuruh di penjuru kelas, sontak semua orang yang berada di kelas menuju ke sumber suara tersebut, termasuk Kevin yang melihat lelaki itu dengan tatapan tak suka.
"Ngapain lo!?" tanya Kevin dengan sakartis.
Pemilik sumber suara tadi kemudian tertawa renyah mendengar ucapan Kevin.
"Gue? Niatnya sih tadi mau nyamper Shasa, tapi ngeliat lo disini gue jadi berubah pikiran," Dava tersenyum miring melihat mata nyalang Kevin.
Dengan ekspresi amarahnya Kevin langsung meletakkan gitar di samping bangkunya lalu berdiri mendekati Dava bak malaikat pencabut nyawa ingin menyerang mangsanya.
"Keluar lo!" tegas Kevin dengan nada dinginnya.
Oh! Melihat Kevin yang sedang marah seperti ini, kaki ku jadi lemas dibuatnya. Sebenarnya aku dibuat bingung sekarang, mengapa Kevin bisa semarah ini pada Dava? Padahal Dava tidak melakukan apa-apa.
"Sorry, gue ada urusan sama Shasa, bukan sama lo," ujar Dava dengan nada angkuhnya.
"Shasa nggak mau nemuin lo!" tunjuk Kevin tepat di depan muka Dava.
Dava menyipitkan matanya ke arah terlunjuk Kevin yang menunjuk wajahnya, dan dengan gerakan cepat ia menangkis tangan Kevin dengan begitu saja.
"Emang lo siapa nya Shasa, ha? Pacarnya aja bukan," Dava tertawa penuh kemenangan.
Kevin yang sedang dibangkitkan amarahnya, mulai mengepalkan tangannya sampai memutih, dan menatap Dava penuh kebencian.
"Pergi lo atau gue.."
"Gue apa, ha!?" tantang Dava dengan berteriak juga.
Sontak aku yang menyaksikan perdebatan itu langsung berdiri dari bangku milikku dan langsung melesat ke arah mereka berdua.
"Dav, ayo pergi!" ajakku kepada Dava dengan terpaksa.
Sebenarnya aku tidak ingin mengajak Dava seperti ini, tapi melihat kondisi Kevin yang amarahnya sudah diubun-ubun, lebih baik aku menyingkirkan Dava dari hadapannya.
"See? Dia ikut gue kan?" senyuman licik masih terpampang jelas di wajah Dava.
Sedangkan Kevin memandang ku dengan tatapan tidak bisa di deskripsikan, tolong jelaskan kepada Kevin apa niatku mengajak Dava, aku tidak ingin dia salah paham!
"Ayo, kita keluar!" tarikku lagi kepada Dava.
Dan tanpa berpikir panjang lagi, aku segera menarik tangan Dava agar menjauhi Kevin.
Tetapi, naasnya...
"Sha! Arrghhhhh!"
Mataku membelalak kaget ketika menghadap ke belakang, aku melihat Kevin nampak memegang dadanya dengan ekspresi kesakitan. Sama juga dengan seisi ruang kelas gaduh karena Kevin yang terus menerus mengerang menahan sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Illusion
Teen FictionBagiku ilusi adalah hal yang tak bisa kumiliki, dan bagian dari ilusi itu adalah harapan dan kamu. - Marsha Agnessia Aurellia. Maafkan aku yang tak bisa menjadi orang yang kamu mau, tetapi, sekarang aku telah percaya kalau penyesalan selalu datang t...