Pengorbanan cinta memang hal yang biasa, tetapi orang yang melakukannya adalah hal yang luar biasa.
*****
Pelajaran sudah berakhir sedari tadi, tapi pikiran tentang Dava belum berakhir dengan begitu saja.
Aku mendesah berat, Mengapa Dava yang terlihat sangat tulus mencintaiku bisa mengkhianati ku begitu kejamnya? Apa hal itu mungkin? Apalagi ia mengkhianati ku dengan Kak Luna! Orang yang selalu saja mengganggu diriku.
Sebenarnya apa motif mereka sebenarnya? Sungguh aku sangat tidak paham dengan situasi ini.
Sebenarnya di sisi lain aku pun tidak percaya dengan tuduhan itu, tetapi tetap saja kejadian saat Dava dan Kak Luna tertawa di kantin tadi rasanya diriku ini sangat terkhianati. Aku benci orang-orang pembohong. Apalagi seseorang yang sekarang ini aku sangat percayai dan yakin ia akan melindungiku disaat apapun. Hal itu terdengar mustahil bagiku.
"Betah amat di meja, cepetan beresin buku lu! Gue pengen keluar!"
Suara ketus dari laki-laki memenuhi pendengaran ku. Membuat diriku bingung tak menentu, ternyata sedari tadi aku diam dan tidak melakukan apapun di mejaku ini.
"Ini udah pada keluar semua?" Tanyaku bingung karena ternyata kelas sudah sepi, hanya menyisakan aku dan Kevin berdua disini.
"Daritadi! Gue tungguin lu sampe selesai bengong, taunya lama banget!" Kevin memutar bola matanya searah jarum jam.
Aku cengengesan saja mendengar perkataan Kevin, kemudian mulai membereskan buku-buku milikku dan menggendong tas ku ke punggung ku. Rasanya Dava ini terus saja mengganggu pikiranku.
"Cepetan, pangeran tampan lu nanti marah kalo nunggu lu lama-lama!" Entahlah perkataan Kevin itu seperti sindiran di telingaku.
Aku menghembuskan napasku lemah, kalau situasinya runyam seperti ini, lebih baik aku pulang dengan Bang Revo saja, tetapi Bang Revo tetap saja ingin sekali agar diriku ini diantar oleh Dava. Toh Bang Revo juga akhir-akhir ini sibuk dengan kuliahnya.
Kalau aku meminta Kevin untuk mengantarku, ia pasti juga tidak akan mau. Memang aku ada janji apa dengannya?
Dan memangnya aku siapa?
Eh-- tapi, apa aku harus coba? Ah tidak-tidak! Apa aku ingin cari masalah lagi dengan Dava? Jika Dava mengetahui ini pasti Kevin akan menjadi santapan ototnya lagi. Aku tidak ingin itu terjadi.
Kevin yang tadinya jalan di depanku di koridor, tiba-tiba saja berbalik.
"Sebenarnya gue mau nganterin lu, tapi gue nggak bisa," ucap Kevin.
Aku mengernyitkan dahi, mengapa ia bisa mengatakan itu? Apa ia bisa membaca pikiranku?
"Kenapa?" Tanyaku spontan alasannya yang tidak bisa mengantarku.
Kevin tertawa kecil mendengar jawabanku, ah pasti didalam pikirannya aku kecewa tidak diantarkan dengannya! Kenapa aku bisa menjawab seenak itu, sih?
"Gue mau ngajarin Ara main gitar di rumahnya."
Jawaban dari Kevin tadi membuat diriku menganga tidak percaya, ternyata adik kelas yang dahulu selalu centil kepada Kevin masih hidup..
Eh, maksudku masih dekat dengan Kevin? Hah, sepertinya Kevin semakin dekat dengannya. Mungkin sekarang dia sudah menaruh hati kepada adik kelas itu. Karena setahuku biasanya perempuan yang didekati Kevin tidak tahan dari tiga minggu. Dan adik kelas tersebut sudah memecahkan rekor.
"Yaudah aku duluan ya, Vin," ucapku pasrah kemudian melangkah ke arah kelas XI IPA IV untuk menemui Dava. Sepertinya Dava masih di kelas.
"Hati-hati, ya?" Jawab Kevin setelah aku melangkah balik. Aku menjawabnya dengan anggukan dan senyuman saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Illusion
Teen FictionBagiku ilusi adalah hal yang tak bisa kumiliki, dan bagian dari ilusi itu adalah harapan dan kamu. - Marsha Agnessia Aurellia. Maafkan aku yang tak bisa menjadi orang yang kamu mau, tetapi, sekarang aku telah percaya kalau penyesalan selalu datang t...