Mawar saja perlu tumbuh dahulu baru mendapatkan duri. Sama seperti hati seseorang, perlu ada yang menyakitkan dahulu, baru tameng hatinya akan muncul.
*****
Aku menghempaskan tubuhku yang rasanya remuk dimakan soal-soal ulangan setelah 5 hari yang telah aku lewatkan di sekolah ku. Rasanya senang sekali telah menyelesaikan ulangan-ulangan akhir semester 2 yang telah dilakukan kemarin. Walaupun sebenarnya ada sedihnya, karena aku akan meninggalkan kelas XI IPA 1 tercinta yang baru saja rasanya aku masuk ke kelas itu.
Apalagi ditambah suasana kelas dan teman-teman yang baik sehingga diriku yang sebelumnya menjadi introvert sekarang menjadi lebih terbuka kepada semua orang. Dan semuanya tak luput dari seseorang yang selalu disampingku, yaitu, ya yang satu tempat duduk denganku.
Ah aku tak tahu apa jika aku tidak satu kelas lagi dengannya aku bisa menahan rindu yang sangat berat?
Walaupun aku belum siap merindu dengannya, waktu memang harus berjalan bukan? mau tak mau aku harus melewatkannya demi cita-citaku.
Disela-sela membayangkan kenangan-kenangan ku yang tercipta di kelas XI IPA 1, tiba-tiba saja telepon genggamku berbunyi tanda ada yang menelpon.
Dahiku berkerut mendengarnya, siapa yang menelponku malam-malam seperti ini? Apa ia tidak tahu ini adalah malam minggu? Sekaligus ini malam dimana aku tidak usah capek-capek belajar lagi untuk UAS keesokannya?
Dengan langkah gontai aku menelusuri nakasku yang dimana ada teleponku disana. Kemudian aku mengambilnya.
Rian is calling..
Aku menaikkan alisku, ada apa ia menelponku malam-malam begini?
"Kenapa, Rian?" Tanyaku langsung menanyakan apa yang ia mau dariku.
Terdengar suara kresek-kresek di ujung telepon, aku menggaruk kepalaku pertanda bingung. Sebenernya apa yang Rian lakukan disana? Mengapa ia tidak menjawabku? Apa Rian tidak sengaja menelponku?
"Rian, kepencet ya? Yaudah aku tutup ya," jawabku kemudian berniat mengakhiri sambungan telepon Rian.
Tetapi sesaat aku ingin mematikan sambungan tersebut, tiba-tiba saja suara Rian yang terdengar kencang membuat aku menghentikan tanganku.
"Eh tunggu! Tunggu!" Ujar Rian di ujung telepon sana.
Aku mendesah berat, kemudian mulai menempelkan ponselku ke telingaku kembali.
"Kenapa, Rian?"
"Gue sama Bella ke rumah lu ya, gue udah di rumah Bella nih!"
"Iya Sha, kita ke rumah lu ya? Oke? Oke!!! Ayo Rian otw kita!"
Aku menjauhkan ponselku dari telingaku, mengapa suara mereka sangat bersemangat sekali? Dan mengapa ia ingin ke rumahku mendadak seperti ini? Apa ada yang penting untuk dibicarakan?
"Ngapain kesini?" Tanyaku bingung.
"Udah nanti aja ngomongnya! Gue udah di depan rumah lu nih! Bukain dong!" Rengek Rian dari luar, dan benar saja bel rumahku sudah berdering berkali-kali dari sini. Sungguh mereka tidak sabaran. Mentang-mentang rumah Bella persis di sampingku.
*****
"Kalian mau minum apa?" Tanyaku kepada mereka yang sudah duduk di ruang tamu."Gue biasa!" Bella tersenyum malu-malu, aku tersenyum saja, Bella pasti ingin meminta jus jeruk sama seperti kebiasaannya jika ia mengunjungi rumahku.
"Kamu apa Rian?" Tanyaku kepada Rian yang nampak masih melihat-lihat interior rumahku, sepertinya ia baru pertama kali kesini.
"Rian! Ditanyain tuh!" Sentak Bella menabok paha Rian yang masih saja diam padahal sudah aku tanyai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Illusion
Teen FictionBagiku ilusi adalah hal yang tak bisa kumiliki, dan bagian dari ilusi itu adalah harapan dan kamu. - Marsha Agnessia Aurellia. Maafkan aku yang tak bisa menjadi orang yang kamu mau, tetapi, sekarang aku telah percaya kalau penyesalan selalu datang t...