Keluarga adalah berlian paling indah yang kita punya.
*****
Keesokan harinya..
Keningku berkedut sedari tadi, pusingku selalu melanda dari pagi. Aku sekarang bingung, mengapa jaringan telepon ditempat ini tiba-tiba saja menghilang dari kemarin? Padahal ingin sekali aku menelpon Bella untuk menanyakan maksud dari perkataan Bella yang kemarin tentang Kevin itu apa. Tapi karena jaringan disini tiba-tiba saja buruk, jadinya aku tidak bisa menelpon teman dan sahabatku di Jakarta begitupun sebaliknya.
Memang, kita diberikan waktu dua hari untuk melanjutkan ke babak semifinal, tapi daritadi pagi aku dan Meysa tidak punya waktu untuk jalan-jalan, jadi kami belajar di penginapan ini saja. Sungguh, sebenarnya sangat membosankan. Ditambah lagi tidak ada jaringan disini, lengkap sudah penderitaan kami. Lihat saja Meysa yang sedari tadi mengeluh karena lelah.
"Sha, udah malem nih! Lu masih pengen belajar gitu? Gua udah gumoh tahu!" Gerutu Meysa yang entah sudah berapa ratus kali ia mengatakannya.
Mataku menatapnya, sebenernya aku juga sama bosannya. Tapi, mengingat besok aku akan mengikuti olimpiade lagi, aku harus belajar dengan sungguh-sungguh kali ini.
"Kita harus belajar, Mey! Besok kan perang!" Ujarku menyemangatinya.
Meysa menghembuskan napasnya berat kemudian menyenderkan punggungnya di kursi yang ia tempati.
"Entah kenapa gue merasa ada firasat buruk besok," lirih Meysa seraya menundukkan kepalanya.
Alisku bertautan mendengarnya, "firasat buruk? Maksudnya?"
Meysa membangunkan dirinya lagi kemudian menatapku, "gue nggak tahu, Sha! Gue takut..... Kita nggak lolos ke babak final!"
Aku terkejut sebentar atas pernyataannya, kemudian aku mencoba untuk tersenyum, "firasat doang Mey, kalau misalnya kita menang Alhamdulillah, kalau nggak yasudah,"
Sebenarnya aku mengatakan itu hanya untuk menghiburnya, padahal di hatiku paling dalam keinginan menangku sangatlah besar. Jika aku harus pupus di babak selanjutnya, aku tidak tahu harus apa.
"Lu pengen menang kan, Sha?" Tanya Meysa yang kali ini menatapku dengan serius.
Kepalaku mengangguk.
Meysa menatap ke arah lain, "kayaknya gue nggak bisa bantu lu buat ke babak final deh, Sha. Gue terlalu bego buat gantiin Kevin di olimpiade ini. Seharusnya gue nggak usah ikut, Sha!"
Aku menatapnya tidak percaya, ini bukan Meysa yang aku kenal, karena Meysa yang aku kenal adalah orang yang sangat percaya dengan dirinya sendiri, tapi mengapa sekarang dia putus asa seperti ini?
"Kamu ngomong apa sih, Mey? Kita pasti bisa masuk ke babak final kok, percaya deh!"
"Kalau nggak?" Tanya Meysa mengumpan balik.
Aku terdiam mendengar ucapan Meysa.
Meysa ini kenapa? Apa dia ada masalah?
"Meysa, kamu kenapa kayak gini? Kamu ada masalah?" Lirihku, sepertinya memang dia sedang menyembunyikan sesuatu.
Meysa nampak terkejut mendengar pertanyaanku.
Tapi, setelah itu..
"Hiks hiks.. gue nggak pantes buat gantiin Kevin, Sha.. tolong ngertiin gue.. hiks hiks.."
"Meysa? Kamu kok nangis?" Tanyaku panik, kemudian dengan cepat aku memeluknya. Kata orang jika perempuan menangis, maka orang yang didekatnya harus memeluknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Illusion
Teen FictionBagiku ilusi adalah hal yang tak bisa kumiliki, dan bagian dari ilusi itu adalah harapan dan kamu. - Marsha Agnessia Aurellia. Maafkan aku yang tak bisa menjadi orang yang kamu mau, tetapi, sekarang aku telah percaya kalau penyesalan selalu datang t...