27

5.9K 263 3
                                    

Arini.

Seolah puzzle, semua kini menjadi jelas bagi Arini. Semua kata-kata Leo, bagaimana dia tidak bisa menjaga wasiat tunangannya dan malah merusaknya. Dimana tunangannya itu adalah kakak kandung dan tercintanya, Ervina. Arini tidak tau lagi bagaimana harus menghadapi dunia jika dunia berbalik menentangnya.

Perasaan amat bersalah hinggap di dada Arini. Terasa sesak walaupun sudah berada di luar ruangan. Menghirup udara sebanyak-banyaknya tetap tak bisa menghilangkan rasa sesak itu. Arini terus melangkah menyusuri trotoar.

Kata-kata bodoh dan buruk terus dilontarkannya untuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia tidur dengan laki-laki yang melukai kakaknya. Menyakitinya hingga menuju kematian. Ingin rasanya melemparkan diri ke laut atau terjun ke jurang yang terjal jika itu mampu menghapus kesakitan yang dialami kakaknya.

Setelah lelah melangkah dan merasa yakin bahwa malam telah lewat tengah malam, Arini memutuskan pulang. Menghabiskan waktu di jalanan tidak akan bisa menghapus rasa bersalahnya. Namun, sanggupkah dia bertemu muka dengan Leo setelah kebenaran itu terungkap?

Tidak. Arini menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak akan menemui laki-laki itu lagi. Sumpahnya dalam hati. Sudah kering air matanya malam ini. Tak sanggup lagi mengalir karena telah habis terkuras. Arini memutuskan akan keluar dari perusahaan itu.

Denting lift yang membawanya ke lantai apartemennya berada telah sampai. Berjalan perlahan menuju ke apartemennya. Berhenti dan terpaku melihat sosok seseorang sedang berdiri di depan pintunya. Terlihat sedang mengetuk pintunya dengan keras. Arini terdiam dan membiarkan saja laki-laki itu melakukan aksinya.

Kegiatan itu tak lama mulai mereda. Entah karena terlalu lama atau terlalu bosan karena menunggu tak juga terbuka pintunya. Saat meletakkan kepalanya pada daun pintu, laki-laki itu memiringkan kepalanya. Dan melihat ke arah dirinya, terpana.

Dengan secepat kilat, laki-laki itu menghampiri dirinya. Arini berdiri kaku seolah patung. Tak menghiraukan.

"Arini... Arini... Kau..kau darimana Arini? Aku sudah menunggumu sedari tadi. Apakah kau baik-baik saja?" Laki-laki itu terus melontarkan kata-kata. Arini tak menanggapi walaupun tubuhnya digoncang-goncangkan. Bahunya di cengkeram sehingga dirinya berdiri tepat di depan laki-laki itu.

"Arini... Arini... Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau tak menjawab panggilanku? Aku mengkhawatirkanmu Arini. Arini... Kau dengar aku kan? Katakan sesuatu Arini. Katakan sesuatu... Jangan kau diam saja seperti ini Arini... Kumohon..." Laki-laki itu terus saja berbicara walaupun Arini menunjukkan sikap yang sebaliknya.

Leo menggapai kedua tangan Arini dan menggenggamnya. Arini hanya terdiam. Peperangan terjadi di dalam batinnya. Tatapannya layu. Menatap ke depan namun tak tau apa yang sedang dilihatnya. Pikirannya berkecamuk. Terkejut. Marah dan kecewa. Semua yang dilakukan Leo kepada hidupnya membuatnya tak lagi mampu menatap ke depan. Semuanya terlihat tak bernilai. Leo telah menghancurkan dunia kecilnya.

"Pem...bu...nuh" Arini mengatakan nya dengan pelan. Leo terdiam. Takut yang didengarnya salah. Leo bertanya.

"A...apa Arini. Kau bilang apa baru saja?" Leo menggenggam erat jemari Arini. Mendekatkan wajahnya dan menatap ke dalam mata Arini.

"Pem..bunuh" Arini dengan tegas mengucapnya dan menatap langsung ke arah mata Leo. Leo terkejut. Melepaskan kedua tangan Arini dari genggamannya. Tubuhnya bergetar, mundur ke belakang. Menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Tidak... Tidak... Jangan katakan itu. Tidak..." Leo mundur hingga tubuhnya terbentur dinding. Kepalanya menunduk, tangannya meremas rambutnya. Bersandar di dinding dan merosot ke bawah. Masih mengucapkan kata-kata yang sama. Arini melangkah pergi. Tanpa menoleh maupun peduli.

Menutup pintu apartemennya dan menguncinya. Arini melangkah ke sofa dan meringkuk. Memeluk tubuhnya yang bergetar. Arini kacau. Kata-kata itu akhirnya keluar. Leo adalah orang yang telah membunuh kakaknya. Leo adalah orang yang telah menghancurkan hidupnya. Leo telah membunuh hatinya.

Arini terisak. Dadanya terasa sakit dan sesak. Kepalanya terasa pusing. Tenggorokannya tercekat. Berusaha mengeluarkan kesakitan yang tengah mendera hatinya. Arini berteriak. Tangisannya mengiringi. Semakin tinggi dia berteriak, semakin deras air matanya bercucuran.

---

Dunia tak lagi sama. Impian dan harapan dalam semalam pun hancur berantakan. Hanya kesedihan dan kemuraman jiwa yang kini hadir dan menggelayuti awan kehidupan Arini.

Walaupun setelah semalaman menangis dan berteriak, Arini merasakan kehampaan bukan kelegaan. Membiarkan dirinya bergelung di sofa mulai semalam, Arini malas untuk bergerak. Tak ada yang akan menegurnya walaupun ruangannya pun berantakan. Karena dia hidup sendirian. Kehidupannya telah direnggut oleh satu-satunya lelaki yang hidup di hatinya. Namun, karena hatinya kini mati. Hidupnya pun tak berarti lagi.

Walaupun malas Arini tetap berdiri dan bergerak menuju kamar mandi. Kebutuhannya yang satu itu tak mungkin juga ditinggalkannya.

Keluar dari kamar mandi, tatapannya tertuju pada ponselnya yang berada di atas ranjang. Teringat dirinya bahkan tidak menyentuh ponsel itu setelah menghubungi paman kaki panjang nya yang ternyata membawa kemalangan. Tapi, tak urung juga Arini mendekatinya, menatapnya ragu, lalu mengambilnya.

Terlihat puluhan kali paman kaki panjang nya menghubunginya kemarin. Arini menghapusnya begitu saja, begitu pula dengan pesan-pesan yang dikirimnya. Arini men - delete nya tanpa mau membacanya. Tatapan terpaku pada sebuah nama yang tertera disana. Seketika Arini merindukan satu-satunya temannya yang ada di dunia ini, Catherine.

Berfikir sejenak, melihat waktu menunjukkan pukul 8 pagi. Arini memutuskan akan melepaskan segalanya. Bahkan jika akhirnya nanti dia dituntut oleh perusahaannya. Arini tak mau peduli. Karena mulai hari ini, dia tak akan bekerja lagi di perusahaan itu.

Menarik kursi, Arini membuka laptopnya dan membuka situs tiket penerbangan. Setelah mengecek tanggal keberangkatan, Arini tersenyum. Hari baiknya karena masih tersisa satu bangku. Secepat kilat Arini pun mem - booking nya dan membayarnya via online.

Melangkah menuju lemari dan menggapai koper yang berada di atasnya, Arini membukanya dan mengemasi beberapa pakaiannya. Kabar terakhir yang diterimanya, sahabatnya itu sekarang berada di sebuah kota cantik di negara Spanyol. Valencia.

---

Mendarat di bandara udara Manises. Setelah selama 20 jam penerbangan menuju kota cantik ini. Arini tersenyum lebar. Akhirnya bisa bernafas lega. Melangkah perlahan mendorong kopernya, Arini menoleh ke arah pintu keluar. Tak perlu waktu yang lama untuk mengenali sahabat tercintanya yang sedang melongok kesana kesini mencari sosok dirinya. Setelah tatapan mereka bertemu, mereka saling tertawa lebar.

Katherine menghampiri Arini dengan senang gembira. Memeluk sahabatnya dengan erat dan melonjak-lonjak kecil. Sikap heboh mereka sempat menjadi perhatian di sekitarnya. Tak sedikit yang ikut tersenyum melihat interaksi keduanya. Tawa kedua gadis itu cepat sekali menular terhadap sekitarnya.

"Arini! Arini! Arini! Senang sekali kau datang. Kenapa tiba-tiba kau mengabariku mendadak? Bahkan sebelum pesawatmu landas? Tunggu... apakah ini kunjungan kerja dari perusahaanmu atau kau memang ingin mengunjungi sahabatmu yang cantik ini? apakah kau akan lama tinggal disini? Ah.. sudah.. sudah.. sudah. Apapun alasanmu, katakan dan ceritakan nanti saja saat kita tiba ditempatku. Sekarang kita masuk dulu ke mobilku. Meninggalkan tempat ini."

Katherine bertubi-tubi menyerang Arini dengan kata-katanya hanya dengan satu tarikan nafas. Tak sempat Arini menjawab dan bingung harus menjawab mulai darimana, Arini hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya dan tertawa lebar.

Mengikuti langkah Kath, Arini memasukkan kopernya dalam bagasi. Selama perjalanan Kath bercerita bagaimana akhirnya dia sampai disini, di rumah kelahiran papanya. Rumah neneknya. Bagaimana dirinya sangat menyukai tinggal di kota itu dan mengajak Arini untuk hidup bersamanya saja di kota ini. Arini menanggapinya dengan tawa sambil memperhatikan pemandangan di sekitar mereka saat mereka mulai bergerak dan melaju. Merasakan udara dan angin menyapanya.

Kota yang cantik. Selama perjalanan Arini berharap disinilah dia akan memulai segalanya dari awal.  Bagaimana dirinya nanti akan terbentuk dengan karakter yang baru. Dan disini peran Katherine sangat dibutuhkannya. Karena Arini yang dulu, telah mati.

Uncle Long LegsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang