64

4.4K 213 28
                                    

"Pastikan Reyna memakan makanannya. Karena jika tidak, kau yang akan menerima hukumannya." Bintang menatap gadis pelayannya dengan tatapan menakutkan. Gadis itu menganggukkan kepalanya dengan cepat dan takut.

Gadis itu menghela nafas lega saat dilihatnya Bintang keluar dari apartemen. Semenjak malam itu, Bintang tak lagi menyentuhnya. Lega mendera hatinya. Tapi, terkadang saat menatap pria itu, ada rona merah menjalari wajahnya. Dari sekian hari dan sekian malam yang telah dilaluinya selama tinggal bersama Bintang, dan selama itu pula dirinya diperlakukan bak binatang, hanya sekali dan malam itu adalah malam terindah baginya. Bintang memperlakukannya selayaknya manusia dan wanita.

Katakan dia bodoh, katakan dia gila. Berminggu-minggu disiksa dan kemudian diperlakukan dengan sebaliknya hanya dalam beberapa jam, kesakitan dan kebencian yang telah mengendap itu menghilang. Di pagi hari setelah malam itu, tatapan yang semula dia rasakan adalah ketakutan dan kebencian, diganti oleh rona memerah yang selalu mengisi kedua pipinya. Walaupun ketakutan itu masih ada.

Gadis itu kemudian mengambil hidangan untuk Arini dan mengantarkannya. Mengetuk pintunya beberapa kali lalu memasuki ruangan itu perlahan. Saat pertama kali dia melihat Arini yang sudah sadar, wajahnya memancarkan kekaguman. Kecantikan dan aura ketulusan jelas menjadi pribadi gadis itu.

"Nona..." Sahutnya perlahan.

Arini meliriknya. Menoleh dari rebahannya. Dan melihat pelayan Bintang memasuki ruangannya.

"Nona... Anda harus makan. Anda baru saja sakit dan sedang masa pemulihan. Tubuh anda harus diisi." Gadis itu mengatakannya dengan lemah lembut sambil membawa hidangannya ke atas meja nakas disebelah ranjang.

Arini hanya menatapnya kaku. Terus seperti itu mulai 3 hari yang lalu semenjak dirinya sadar. Dia tak mau menyentuh makanannya dan selalu mengacuhkan gadis pelayan Bintang. Dan gadis itu tak henti-hentinya mengajaknya bicara walaupun ada rasa takut dibaliknya. Arini tak mempercayai siapapun lagi jika itu berhubungan dengan Bintang.

Gadis itu menatap Arini dengan tatapan sedih.  Menghembuskan nafasnya perlahan dan hendak meninggalkan Arini sendirian, lagi. Tapi, dia berhenti.

Gadis ini harus makan, jika tidak maka dia tidak akan pernah sehat. Infus tak cukup untuk memenuhi energinya.

Dengan sedikit keberanian, gadis pelayan itu membalik tubuhnya dan mendekati Arini. Duduk di samping Arini yang masih berbaring. Arini yang melihat gadis itu, segera membalik tubuhnya. Tak mau melihat. Walaupun dia yakin, gadis pelayan itu hanyalah suruhan Bintang, tapi dia juga tak menyukainya. Arini takut. Takut dengan segala hal yang berkaitan dengan Bintang. Apalagi setelah dia mendengar perkataan Bintang tempo hari. Arini memejamkan matanya erat tak mau mengingatnya.

"Nona... Nona harus makan. Tubuh nona sangat lemah. Jika nona tidak mau makan... Tuan Bintang akan menghukum saya..." Gadis itu mengatakannya dengan perlahan dan nada sedih. Arini membuka matanya.
Dihukum? Karena dirinya? Tidak. Tidak boleh ada lagi orang yang tersakiti karena kehadiranku. Tidak.

Arini membalik tubuhnya dan mengambil posisi duduk dengan agak sulit. Gadis pelayan Bintang dengan sigap membantunya. Ada senyum didalam hatinya melihat Arini merespon perkataannya. Dia tau bahwa kelemahan Arini adalah rasa simpati kepada sesamanya. Apa yang dia duga tidak salah. Pelajaran yang dia dapatkan bisa dia terapkan. Jurusan psikolog yang dia ambil telah mengajarkan segalanya. Hanya kepada Bintang, apa yang dipelajarinya itu gagal. Mungkin karena dia baru setengah semester mempelajarinya, karena ayahnya sudah menjualnya lebih dulu. Dan juga Bintang adalah sosok yang tak bisa ditebak. Bagaimana dia pernah berfikir bahwa di balik sikap Bintang yang dingin terdapat rasa hangat tersimpan. Tapi seringkali dia salah menduga. Dibalik sikap dingin Bintang ada jiwa kelam yang menaungi.

Uncle Long LegsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang