46. Kesal

6K 636 158
                                    

Muttari kaget melihat saldo di layar gawai Dodi. Memakai e-banking di gawai dirasa cukup untuk melirik isi saldo jika ditransfer oleh pihak ketiga, tetapi ini benar-benar bikin Muttari nyaris serangan jantung.

Total nominal saldo Dodi itu lima puluh ribuan. Honor jutaan mereka tabungkan dua hari lalu, lenyap seketika. Sia-sia sudah usaha mereka selama ini senang menabung.

Dilirik Dodi cemberut membuat Muttari menghela napas. Selagi Tiqa mentraktir yang lainnya beli es krim, hanya Dodi tinggak di dalam Alphard.

"Uang aku habis, Mut."

Muttari sama pucatnya, mengangguk. "Gue tahu, Bang. Sahabat elo itu mengerikan, ya. Dapat di mana?"

"Di hutan," ketus Dodi.

"Tapi---"

"Maman angan gitu cama Papi," tegur Sky bikin hati Dodi berdenyut. "Papi ndak calah. Anti Papi gati uwangnya Maman."

Menoleh sekilas, Dodi merasa patah hati. Apalagi Crystal lebih menempel pada Langit daripada dirinya.

Ketukan di jendela menyadarkan Dodi. Muttari menurunkannya lewat pintu kemudi, terpampang Langit sedang tersenyum sembari menggendong Crystal.

"Kamu tidak masuk? Es krim dan kuenya enak banget, lho." Langit memberi bungkusan kue pada sahabatnya, yaitu Dodi. "Baru kita beli baju, ya. Aku tidak ingin terlalu berharap pada Jack yang sudah pinjamkan baju."

Dodi memicingkan mata. "Pakai uang aku lagi?"

Bola mata Langit bergulir ke atas. "Yaaa ... tidak apa-apa, sih, kecuali kamu lupa sama hutang. Nanti aku tagih besok deh, bila tidak jadi hari ini."

Gelisah, Dodi menggigit ujung jendela mobil. Tak tahu harus berbuat apa. Masa-masa sekolah bikin dia frustrasi. Rasanya mau terjun ke laut atau pergi ke Puncak menyelamatkan Agam saja.

"Atau pinjamkan aku baju milik kamu. Sekali-sekali tidak apa-apa, dong. Asal telah hilang pelit kamu," sindir Langit memasang ekspresi tak berdosa.

Gigi depan Dodi ingin menghancurkan jendela Alphard saking emosi. Langit itu sekutu Tayana kalau soal bertengkar, tetapi untuk ini Dodi merasa terpojok.

"Sabar ya, Bang." Muttari mengelus punggung Dodi.

"Papi, Maman Dot kenapa?" tanya Sky di kursi belakang. "Maman Dot lapal ya? Kenapa makan itu?"

"Iya! Kenapa makan itu? Enak ya, Maman?" lanjut Crystal tak peka.

Melepas pinggiran kaca, lalu mengusap wajah kasar dan memandang Langit dengan ketajaman silet---walau yang ditusuk masih tersenyum---Dodi menyerah.

"Oke, kita pergi beli baju," sungut Dodi. Ubun-ubun seakan siap mengeluarkan lahar. "Tapi setelah itu, kita pulang."

"Aye aye, sir." Langit memeraga gerakan hormat kepada sahabatnya, dengan paras polos.

"Ye, ye!" beo Crystal.

***

Dodi, Namira, Tiqa, dan Muttari mengelilingi butik dengan merek terkenal. Sang aktor tak tahu mengapa Langit memilih tempat ini sebagai ajang membeli, padahal niat lelaki itu tertuju ke pakaian bekas bukan merek terkenal.

Sisa uang Dodi masih banyak, tetapi dia takkan memberitahu. Namun, ingatan tentang dirinya di masa sekolah mengurungkan hal itu. Dia telah berjanji untuk melunasi hutang.

"Papi, oba ini!" kata Crystal menarik satu kain hingga yang lainnya keluar dari kerapihan. "Ical cuka!"

"Ya, Sayang, tapi jangan tarik yang di bawah. Ambil saja di atas." Langit membereskan ulah Crystal di mana baju-baju berhamburan di lantai. "Cukup di atas saja, ya. Nanti Papi pakai."

Crystal And Sky [Happy Family] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang