sedihnya gracio

6.9K 528 33
                                    

Shani terbangun karena terganggu cahaya yang berasal dari jendela apartemen yang kemarin malam lupa untuk ditutup. Ketika membuka mata, pandangannya langsung jatuh pada sesosok pria yang mendekap Shani dalam tidurnya. Shani menyentuh wajah kekasihnya dengan lembut, mengikuti garis tegas hidung mancung serta rahang Gracio. Tangannya perlahan turun kearah bibir tipis Gracio yang pagi-pagi sudah terlihat menggoda. Dengan pelan Shani memajukan wajahnya, mencium bibir Gracio. Berkali-kali, hingga lelaki itu terganggu, dengan setengah sadar semakin mengeratkan pelukannya. menenggelamkan kepala Shani di dadanya.

Shani menenggelamkan kepalanya ke leher Gracio. Pelukan Gracio adalah tempat favorit setelah pelukan sang Mama. Shani ingin menghabiskan paginya seperti ini, namun mengingat hari ini adalah hari pertama OPK dan Shani lagi-lagi menjadi wakil ketua panitia membuat dirinya harus rela membangunkan Gracio agar bisa bersiap-siap.

"Sayang, bangunn yuuk." Shani mengelus pipi Gracio dengan lembut namun tak ada respon dari pacarnya. Gracio terlihat sangat lelah, mungkin karena semalaman terjaga sambil mengelus rambut Shani agar gadisnya itu dapat tertidur.

Akhirnya setelah 15 menit, usaha Shani tidak sia-sia. Gracio terlihat menggeliat. Shani yang melihat itupun segera mengangkat dan menopang kepalanya dengan tangan. Memperhatikan Gracio yang saat ini malah mendekap perutnya semakin erat.

"Sayang, ayo bangun ishh. Nanti telat gendutt." Shani mencubit pipi Gracio. Kegiatannya terhenti saat tiba-tiba pintu apartemen Shani terbuka, memperlihatkan Shania yang sudah rapi lengkap dengan jas almamaternya.

"Yaampun mata gueee." Shania menutup matanya sambil berjalan mendekat ke arah sofa.
"Heh bocah bangun sana, maba kok males banget." Shania menggeplak punggung Gracio dengan keras membuat lelaki itu mengaduh kesakitan.

"Nju." Shani melemparkan pandangan kearah sahabatnya yang saat ini tengah duduk di sofa seberang sembari mengelus punggung Gracio yang dipukul Shania.

"Ci, tangan temenmu keras banget kaya petinju." Gracio tengah mengadu kepada Shani yang saat ini memandang gemas ke wajah manja Gracio.

"Heh gue denger ya. Awas lo nanti di kampus gue siksa sampe kurus."

Shani hanya tertawa melihat perdebatan kekasih dan sahabatnya. "Bangun gih, mandi trus siap-siap untuk briefing OPKnya. Aku siapin sarapan dulu."

Gracio segera bangkit diikuti oleh Shani. Coba Shania membangunkannya selembut Shani, huh dasar Tante tante!

"Aku mandi dulu ya Ci." Gracio bangkit dan melangkah menuju kamarnya. Namun tanpa diduga Shania, sebuah baju melayang kewajahnya yang ternyata adalah ulah Gracio yang sudah berlari ke kamar.

"Hehhh Bocah!" Shania segera bangkit ingin mengejar Gracio namun tertahan karena pintu kamar yang telah dikunci. Dengan wajah sebal dia berbalik dan melempar baju Gracio ke sofa
"Heran gue kok lo betah banget pacarana sama bocah alay itu. Gue yang ketemu dia 5 menit aja udah dibuat emosi. Nakal banget."

"Cio nurut kok, kamu kali yang perlakuin dia ga baik jadi dia bandel." Shani memungut baju Cio dan memasukkannya kedalam keranjang cucian. Segera beranjak ke dapur untuk mempersiapkan sarapan buat kekasihnya.

"Lo sadar ga sih kalo lo itu udah kaya nyokapnya. Nyiapin sarapan, nganterin kemana-mana, nyuciin baju dia, ngasi dia tempat tinggal, ngelonin dia. Lama-lama bisa-bisa lo mandiin tuh bocah lagi saking lo manjain dia banget."

"Dia itu masih kecil Nju, bukan kayak kita yang udah gede. Udah ih ntar tolong kalo Cio udah keluar siapin makanan yang ada di microwave ya. Gue mau siap-siap dulu. Dan jangan diracun." Shani menambah seakan bisa membaca isi pikiran Shania.

Walau dengan ngedumel, Shania tetap berjalan kearah dapur dan menyiapkan makanan untuk pacar sahabatnya.

.
.
.

"Cio belum keluar kamar?" Shani terlihat telah siap menggunakan celana jeans dan tshirt putih dilapisi jas kuning kebanggaan kampus. Heran ketika mandapati ruang tengah hanya ada Shania.

"Belum, pingsan kali tuh bocah alay atau lupa caranya gosok gigi."
Shani mengacuhkan sindiran Shania dan segera menuju kamar Gracio

"Sayang, ini udah siang ayo berangkat."
Lima detik kemudian pintu kamar Cio terbuka, memperlihatkan Gracio yang telah berpakaian rapi dengan menenteng sneaker ditangannya.

"Lama banget ngapain sih." Shani melongokkan kepala kedalam kamar namun segera dihalangi oleh Gracio.

"Yuk berangkat biar ga telat." Gracio segera duduk untuk memakai sepatunya, sedangkan Shani melangkah ke arah dapur.

"Sarapan dulu. Nanti kamu kegiatan sampai sore." Shani membawa kotak makan berisi karage lengkap dengan nasi. Sebenarnya ini makanan yang Shani buat untuk Gracio kemarin, sudah dihangatkan dua kali karena Gracio tidak terlalu menyukai makanan dingin.

"Biar aku sendiri Ci." Gracio ingin meraih kotak makan tersebut namun segera dijauhkan oleh Shani.

"Udah aku aja. Kamu pake sepatunya cepet nanti kita telat." Shani menyendokkan nasi dan mau tidak mau Gracio pun menerima suapan Shani sembari lanjut mengenakan sepatunya.

"lanjut di mobil aja ya, sekarang jalan yuk." Shani menutup kotak makan dan mengandeng tangan Gracio untuk turun mengikuti Shania menuju ke mobilnya.

"Nju, lo yang nyetir yaa." Baru Shani akan duduk dibelakang dengan Gracio, tangannya ditahan oleh Cio.

"Biar aku aja yang nyetir." Gracio langsung menuju kemudi, sebelum Shania sempat membantah permintaan Shani. Mau tidak mau Shani duduk disebelah kekasihnya. Tangannya sibuk menyuapi Gracio, sedangkan Gracio terlihat serius mengemudi.

Saat sudah sampai di parkiran, Shani mengarahkan pandangannya ke Shania. "Lo duluan aja."
Shania memutar matanya malas namun mengikuti perintah Shani untuk lebih dulu menuju Gedung Fakultas FEB.

"Cerita sama aku. Kamu kenapa?" Shani menarik tangan Gracio yang masih menggenggam tuas transmisi.

"Aku gapapa Shan. Aku mau ke lapangan dulu." Saat Gracio ingin bangkit, tangannya ditahan oleh Shani.

"Ga mungkin ga ada apa-apa kalau kamu manggil aku aja pakai nama!"

Shani menyadari perubahan Gracio sedari tadi. Lelaki yang biasanya ceria, penuh senyum, alay, dan selalu ribut itu tiba-tiba lebih banyak diam. Seperti memikirkan sesuatu.
"Kamu ada masalah apa hmm? Cerita sama aku."

"Ge, kamu janji gak mau nutupin apa-apa sama aku kan? Sekarang cerita."
Shani meraih wajah Gracio agar menghadap ke arahnya. Dia tidak suka melihat laki-lakinya murung.

"Apa aku terlalu ngerepotin kamu Shan?" Akhirnya Gracio berbicara, memandang dalam mata Shani.

"Maksud kamu?"

"Aku baru sadar kalo aku sangat merepotkan. Aku terlalu bergantung sama kamu, selalu ngerepotin kamu."

"Apa ini karena kata-kata Shania? Kamu dengerin dia?"

Gracio mengangguk, sebelum menambahkan.

"Aku baru sadar, aku mencari sosok Ibu di diri kamu. Maaf kalau kesannya aku jadi manfaatin kebaikan kamu. Tapi aku sadar, Shania bener. Aku udah gede, seharusnya ga semua hidupku bergantung sama kamu. Kamu juga punya kehidupan yang butuh untuk diperhatikan. Maafin aku." Tatapan Gracio terlihat sendu. Dan Shani sangat tidak menyukai hal itu.

"Sayang, dengerin aku-"

Ddrrtt drttt

Percakapan mereka terganggu oleh dering handphone Gracio.

"Iya, gue kesana sekarang." Gracio mematikan panggilan dan memasukkan handphone kedalam tas.

"OPK udah mau mulai. Aku kesana dulu."

Dengan segera Gracio bangkit dan melangkah menuju lapangan tempat mahasiswa baru berkumpul. Meninggalkan Shani yang sedih dengan perubahan Gracio yang drastis. Seharusnya Shani tau jika pembicaraanya dengan Shania tadi dapat melukai Gracio. Karena Gracio memang sangat sensitif jika membahas sosok Ibu. Orang yang meninggalkan Gracio dan keluarganya sedari kecil.

***

Kangen banget sama Shani...a














Gracia 🙃

Head Over Heels [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang