"Cishan, yuk pulang?" Gracio menghampiri Shani setelah selesai berganti baju. Didapatinya Shani tengah menunggunya dengan barang-barang yang sudah dirapikan. Namun Gracio melihat ada yang aneh dari pandangan Shani.
"Aku belum mau pulang, ke kosan mu boleh?"
"Eh? Nanti ga kemaleman?"
"Gak, yuk pulang Ge." Shani menarik tangan Gracio menuju parkiran dengan Gre yang hanya pasrah mengikutinya.
Benar Shani sangat merindukan Gre, namun ada hal lain yang mendorong dia untuk berlama-lama dengan Gracio. Setelah membaca chat dari Shanju, dia tahu bahwa Gracio akan bertemu dengan Shanju, lagi. Dan Shani tidak bisa memikirkan cara lain untuk menggagalkan pertemuan itu selain memastikan agar Gracio tidak pergi.
"Mau hujan Ci, Cishan yakin gamau langsung pulang aja?" dia merasakan gelengan di pundaknya, Shani terdiam tanpa kata, namun dari pelukannya yang semakin erat Shani mencoba menyalurkan ketakutannya pada Gracio.
Tidak butuh waktu lama untuk mereka sampai di kost Gracio, gerimis mulai membasahi jalanan yang mulai padat. Gracio mengencangkan laju kendaraannya, tidak ingin kekasihnya basah kuyup oleh hujan yang seakan membaca perasaan Shani. Bumi pun ikut bersedih melihat Shani yang tak bisa tersenyum.
Beruntungnya mereka, saat hujan mulai deras Shani dan Gracio sudah menginjak anak tangga terakhir. Gracio berusaha secepat yang dia bisa membuka pintu kamar dan bergegas menuju kamar mandi. Sedangkan Shani melepas jaket yang sudah basah kuyup karena melindungi tubuhnya dan memilih duduk di tepi ranjang Gracio.
"Ci, keringin dulu kepalanya. Nanti sakit." Gracio berdiri di depan Shani yang masih terdiam menatapnya. Ingin sekali Gracio bertanya 'Shaninya kenapa?' namun dia dapat membaca bahwa ini bukan marah-marah Shani seperti biasanya.
Karena Shani hanya terdiam memandangnya, Gracio akhirnya mengeringkan rambut Shani. Ketika tangan Gracio menyentuh kepalanya, Shani memejamkan mata menahan tangis yang ingin turun. Mungkin kesalahan terbesar dirinya adalah jatuh cinta teramat dalam pada Gracio, hingga ketika bersama dengan lelaki itu pun Shani masih diliputi ketakutan jika akan berpisah.
Gerakan Gracio memelan saat merasakan Shani memeluk perut dan memendamkan wajah di perutnya. Dengan perlahan Gracio mengangkat dagu Shani dan menyelipkan rambut gadisnya ke telinga.
"Kamu kenapa?"
Gracio beralih mengelus alis Shani. "Kamu jangan banyak pikiran, ini alis keriting entar Ci."
"Capek ya?"
Shani hanya mengangguk.
"Mau dipijitin?"
"Mau peluk" Shani akhirnya bersuara.
"Tapi aku maunya ini." Gracio mengangkat dagu Shani dan mencium bibir gadis itu dengan lembut, mencoba menghangatkan bibir pucat dan dingin kekasihnya. Shani pun menikmati ciuman Gracio yang lembut, hanya kecupan namun kali ini Shani menuntut lebih. Shani menghisap bibir Gracio lebih dulu, mencoba mencari jawaban semua teka-teki yang tidak bisa dia pecahkan. Berharap bahwa ciuman Gre masih hangat dan manis seperti biasanya. Dan Shani dapat bernapas lega, karena ciuman itu masih sama. Tetap lembut, seakan begitu menghargai tiap kecupan yang mereka salurkan.
***
Hujan semakin malam semakin deras, memaksa Shani dan Gracio untuk bergelung dalam selimut dan saling menghangatkan diri. Shani begitu nyaman tidur di pelukan Gracio, mengindahkan panggilan dan chat yang masuk di handphonenya. Mungkin saat ini Koko dan Mamanya sedang mencarinya, namun Shani enggan berpisah dengan Gracio. Hanya lelaki ini yang bisa menenangkannya. Hanya dalam pelukan Gre dia bisa menghilangkan segala pikiran buruk yang menetap di pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels [END]
FanfictionHead Over Heels, merupakan definisi dari orang yang tergila-gila akan cinta, yang mau melakukan apapun demi orang yang dia cinta. Dan Gracio beserta Shani adalah definisi sempurna dari bucin itu sendiri. Yang 1 polos, lambat, dan ceroboh. Satu lagi...