"Aww" Gracio merintih pelan saat membuka sepatu dan menggulung celananya. Terlihat lebam biru menghias lutut dan bengkak dibagian pergelangan kaki. Saat ini mereka sedang menunggu penerbangan dari Surabaya kembali ke Jakarta.
Disebelahnya Shani terlihat mencuri-curi pandang. Kawatir namun masih terlihat kesal dengan kelakuan Gracio dan kebandelannya yang memaksakan perjalanan sampai tiba di Surabaya.
Gracio mengeluarkan salep heparin yang memang selalu dia bawa. Sembari melirik sekilas pada Shani yang masih sibuk memainkan handphonenya.
Shani tau Gracio terus memperhatikan namun dia masih enggan untuk menurunkan gengsinya. Kesal dengan Gracio yang bisa bisanya mengangkat telp Lala dan menghiraukannya.
"Ci, kaki aku sakit.." Gracio mencoba peruntungan, namun Shani hanya meliriknya sekilas dan kembali sibuk dengan handphonenya.
Caper.
Benak Shani dalam hati. Sesungguhnya Shani tidak masalah jika memang Lala menghubungi Gre untuk mengucapkan ulang tahun. Tapi yang menjadi masalah adalah kenapa Gre harus menjauh ketika menerima telp Lala? She feels so suspicious, and she doesnt like that.
Shani beneran tega meninggalkan kekasihnya untuk boarding lebih dulu, hanya membawa ransel dan meninggalkan Gracio dibelakangnya. Gracio hanya menghela nafas lelah dan menunggu hingga antrian sepi baru menyusul Shani.
Gadis itu yang sudah memejamkan matanya ketika merasa pergerakan disebelahnya. Saat merasakan sentuhan pada kakinya, reflek Shani menepisnya.
"AWW" teriakan Gracio terdengar nyaring saat tanpa dosanya kaki Shani mengenai lututnya yang sudah mulai memar.
"Ge! Apaan sih teriak teriak. Malu tau"
"Kamu nepis kaki aku yang bengkak Ci. Sakit..."
"Luka gitu doang, lebay kamu."
Ucapan Shani tadi memancing kekesalan Gracio dengan mengatakan dirinya lebay. Tidak tahu saja dia bagaimana nyerinya kaki yang dia paksa melanjutkan perjalanan sampai ke Surabaya.
Dan sepanjang perjalanan Gracio melancarkan aksi diamnya. Begitupun saat dirinya turun dari pesawat dan mengambil barang di conveyor belt, sesakit apapun kakinya, dia enggan untuk meminta bantuan Shani.
"Aku pulang sendiri aja." Saat mereka sudah di pintu kedatangan, Shani menghentikan langkahnya di depan sebuah taxi.
"Ini udah malem, aku anterin sampai apartemen."
"Ga usah, kamu pulang aja. Aku bisa kok sendiri." Shani masih bersikeras.
"Ci, aku lagi gamau berdebat."
"Dan aku pun sama. Aku capek, please give me some space Gracio."
"Kamu kenapa sih? Katanya kalo ada masalah diomongin, jangan dipikirin sendiri. Stop overthinking Ci, you cant control everything."
Shani sangat kecewa dengan tanggapan Gracio. Disaat seperti ini yang dia butuhkan adalah Gracio yang menenangkannya, yang mengatakan 'All is well Ci', menyatakan bahwa pikirannya salah. Namun entah kenapa semua jadi serumit ini.
"Ayo masuk" sebagaimanapun kesalnya dirinya pada Shani, Gracio masih membukakan pintu taxi untuk pacarnya, setelah menyimpan barang-barangnya di bagasi mobil. Namun bukan Gracio namanya jika tidak mampu membuat Shani bertambah kesal. Lelaki itu malah memilih duduk di samping supir. Membiarkan Shani sendirian di kursi belakang.
Selama perjalanan keheningan menyelimuti taxi yang membelah padatnya lalu lintas malam hari. Kelelahan karena perjalanan yang lumayan berat membuat emosi menguasai diri lebih dari yang mereka duga. Hingga tanpa mereka sadari taxi mereka telah memasuki kawasan apartemen Shani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels [END]
FanfictionHead Over Heels, merupakan definisi dari orang yang tergila-gila akan cinta, yang mau melakukan apapun demi orang yang dia cinta. Dan Gracio beserta Shani adalah definisi sempurna dari bucin itu sendiri. Yang 1 polos, lambat, dan ceroboh. Satu lagi...