We are never ever getting back together

4K 365 103
                                    

"Gee..." ucapan lirih Shani dalam ruang ganti teredam derasnya hujan di luar sana. Sepeninggal Gracio, Shani hanya bisa termenung memikirkan kejadian tadi. Dirinya merutuki ego tinggi yang selalu mendominasi.
Entah kenapa perasaannya diliputi kegundahan seperti saat ini. Hatinya sesak ketika melihat kesedihan di mata Gracio. Melihat ketidakmampuan Gracio menolak keputusannya, meredam egonya hanya untuk Shani.

Sebenarnya disini siapa yang dewasa?

Bagaimana mungkin dia bisa memilih antara orang tua dan orang yang dicintainya? Shani tidak ingin menjadi anak durhaka. Dia sangat menyayangi keluarganya, namun nyatanya hampir dua minggu telah berlalu tapi rasa yang ia kira akan pudar sama sekali tak berkurang.

Harus sebanyak apa air mata yang dia keluarkan hanya untuk menangisi keadaan yang bahkan tidak membaik sampai saat ini?

Keadaan Gracio tidak jauh lebih baik. Bagaimana bisa Shani mengangkat dan menjatuhkan perasaannya hanya dalam hitungan detik. Ketika dirinya berharap mendapat kejujuran dari Shani, namun gadis itu tetap insist dengan keputusannya. Gracio tidak main-main ketika mengatakan jika dia sangat ingin mencium Shani. Dirinya sangat merindukan Shani, merindukan perlakuan manisnya, kelembutan dan kehadirannya. Namun Shani juga yang membuatnya kembali berpijak pada kenyataan bahwa they are friends. Now.

Kenapa Shani harus mendatanginya dan memberikan perhatian like she even care. Kenapa gadis itu tidak membuat ini jauh lebih mudah dengan tidak memberikan harapan pada dirinya dan berhenti membuat dirinya bingung.

"Kamu kenapa lagi?"

Gracio menatap mata gadis yang saat ini ada di hadapannya. Gracio tidak tahu mengapa selalu Shania yang dia datangi untuk mengadu. Saat ini dia sudah berdiri di depan apartemen Shania. Dalam keadaan basah kuyup karena menerobos hujan hingga sampai di tempat ini.

Dalam diamnya, Gracio menjatuhkan kepalanya di pundak Shania yang masih terpaku karena tidak pernah menyangka akan tindakan Gracio.

"Boys do cry. Kamu bebas nangis sepuasnya. Sini.." Shania menarik lembut tangan Gracio untuk masuk ke apartemennya. 
Hangat. Itulah yang dirasakan Gracio saat ini. Entah karena memang apartemen Shania yang hangat, atau karena pelukan yang diberikan oleh gadis itu. Gracio tidak tahu.
"Kamu pasti bosen ya Kak, selalu aku datengin kalau lagi sedih." Shania menggeleng. Dia memang cuek, dan sering semena-mena pada Gracio, namun didalam hati Shania sangat peduli.

"Apa aku harus nyerah aja ya Kak? Untuk apa aku berusaha kalau Cishan tetap pada pendiriannya. Aku pengen bahagiain dia, tapi kalo ternyata yang buat dia bahagia adalah tanpa aku... aku mungkin harus udah relain Cishani sama yang lain" Gracio menghapus air matanya.

Kenapa wanita yang dia sayangi harus selalu meninggalkannya?

Shania meraih tangan Gracio dan menggenggamnya, memaksa lelaki itu berhenti untuk menghapus air mata yang terus jatuh dengan tangan.
"Cio, mungkin ini bukan pilihan mu, tapi pilihan Allah. Mungkin jalan yang kamu inginkan ga kaya gini, tapi ini jalan Allah. Karena rasa itu akan kalah oleh waktu. Bahwa mungkin bukan dialah jawaban doamu. Love is worth fighting for, but not if you are the only one fighting."
.
.
.

Shania mengamati lelaki yang berbaring di sebelahnya, dengan pelan dia mengelus rambut pemuda ini. Pemuda yang menyadarkan dia jika cinta jauh lebih besar dari rasa ingin memiliki. Cinta adalah bagaimana menjaga orang yang sangat berarti di hidup kita untuk tetap bahagia.

Am I head over heels in love with you Gracio?

Sekarang bukan lagi keinginanku untuk bersamanya yang berkecamuk di dalam hati, namun melihat senyumnya merekah kembali adalah tujuan utamaku. Munafik jika aku mengatakan bahwa aku akan bahagia asal Gracio bahagia, tapi itulah yang terjadi.

Head Over Heels [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang