"Mar, kenapa telp gue ga lo angkat?" Mario terkejut saat hendak menhidupkan motornya, Shani tiba-tiba muncul di parkiran. Lelaki itu meringis pelan, dia lupa mengabari Shani kabar Gracio.
"Eh itu-"
"Lo bilang mau ngabarin dan gue nunggu."
"Anu Kak-"
"Lo sekongkol sama temen lo ya buat nyembunyiin sesuatu?"
Shani terus menyerangnya dengan pertanyaan. Lama-lama jika terus berurusan dengan Shani dan Shania, dia bisa-bisa menderita serangan jantung di usia muda.
"Enggak Kak Shani. Kemarin gue lupa. Cio lagi sakit jadi dia ga ngampus."
Shani melirik Mario dengan pandangan curiga.
"Kamu boong kan?"
"Enggak Kak masa gue boong sih, dia demam dan kakinya masih bengkak. Seharian kemarin emang ga pegang hp."
"Kasian tau kak, makannya mie instan terus, kamarnya berantakan, kerjaannya rebahan mulu." Mario mengompori. Dia harus segera mendamaikan perang dingin Shani dengan Cio, kalo tidak bisa bisa hari-harinya dihantui seniornya ini.
"Manja banget sih!" Shani mengomel namun tetap terbersit perasaan khawatir pada dirinya. Bagaimana tidak, sehari-hari saja Shani selalu mengkhawatirkan Gracio. Memikirkan apakah lelaki itu sudah makan, apa kuliahnya lancar, apa tingkahnya yang clumsy tidak membuat dia terluka atau melakukan suatu kebodohan.
Shani kesal, sepanjang kelas dia jadi tidak konsen. Berkali-kali membuka aplikasi chat dan mengetik pada chatroomnya dengan Gracio namun berakhir dengan dihapusnya lagi kalimat-kalimat yang sudah dia rangkai. Fix, Shani galau.
"Nju, gue ga bisa kumpul hari ini. bilangin Vino yah." Shani buru-buru merapikan tasnya saat dosen telah mengakhiri mata kuliah mereka.
Setibanya di kos sang kekasih,
Shani menaiki tangga kosan Gracio dengan tergesa, berusaha mengacuhkan beberapa pasang mata yang memandangnya, dirinya bersyukur saat memutar kenop pintu kos Gracio dan ternyata pintunya tidak terkunci.Pemandangan pertama yang Shani temui adalah kekasihnya tengah bergelung di dalam selimut saat cuaca sedang terik-teriknya. Sampah yakult, kaleng susu, mie instan, dan tissue berserakan di lantai, membuat Shani hanya bisa geleng-geleng kepala.
Ketika telah meletakkan tas kuliahnya di meja belajar Gracio, Shani mencepol rambut dan berganti baju dengan kaos kepunyaan Gre. Saatnya menjadi Sumini yang sesungguhnya.
Selang beberapa waktu, Gracio mukai terbangun dan menyadari bahwa dirinya tidur terlalu lama. Perutnya pun sudah mulai menuntut minta diisi. Namun ketika membuka mata, pandangannya jatuh pada sesosok bidadari yang sedang tersenyum menatapnya. Menggunakan kaos nya yang kebesaran dan dibanjiri keringat.
"Hai"
Shani menyapa Gracio dan duduk di ranjang, tepat disebelahnya. Pandangannya menunjukkan kekhawatiran yang tidak bisa ditutupi.
"Hai Ci.. Sejak kapan disini?"
"Dari kamu tidur, mungkin udah dua jam. Gimana, udah baikan?" Shani mengelus kepala kekasihnya dengan sayang, menyadari jika suhu tubuh Gracio memang tinggi.
"Keringetan Ci." Gracio berusaha menepis tangan Shani karena memang wajah dan tubuhnya penuh keringat.
"Gapapa, bagusnya emang keluar keringet kan kalo sakit." Shani malah mengusap keringat Gre dengan tangannya. Rasa bersalahnya kembali muncul. Kekasihnya sudah sakit 3 hari dan dia baru ada disamping Gracio sekarang.
"Ci Shan udah makan? Aku pesenin makanan ya?" Gracio menambahkan ketika mendapat gelengan dari Shani.
Saat Gracio sibuk mengorder makanan melalui aplikasi, tiba-tiba pandangannya terhalang saat Shani mendekapnya erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels [END]
Fiksi PenggemarHead Over Heels, merupakan definisi dari orang yang tergila-gila akan cinta, yang mau melakukan apapun demi orang yang dia cinta. Dan Gracio beserta Shani adalah definisi sempurna dari bucin itu sendiri. Yang 1 polos, lambat, dan ceroboh. Satu lagi...