Pillow Talk

6K 471 55
                                    

"Jadi kamu mau tetep pergi? Oke, kenapa ga sekalian aja pergi dari sini dan ga usah balik lagi?"

Shani POV

Itu merupakan kalimat terbodoh yang pernah aku lontarkan, terlebih kutujukan pada Gracio yang langsung terlihat sedih saat aku mengucapkan itu. Detik itu juga aku ingin menarik kata-kataku namun lidah ini seperti kelu untuk mengakui jika aku, Shani, can't control my unwanted emotions.

"Ci Shani keganggu ya aku tinggal disini? Nanti sehabis balik dari mendaki aku cari kos ya Ci." Gracio memamerkan senyum tipisnya tapi aku tau jika dia menyembunyikan kesedihan dibalik senyumnya itu. Aku hanya bisa mematung saat Gracio berjalan menuju kamarnya, dan keluar membawa carrier yang sebelumnya dia gunakan untuk membawa barang-barangnya ke apartemen.

"Ge.." Gracio berhenti tepat di pintu apartemen menunggu rangkaian kalimat yang akan keluar dari mulutku namun yang aku lakukan malah memupuk gengsiku yang setinggi langit. Melihat aku yang tidak juga bersuara membuat pacarku (yes of course he still my boyfriend!) berbalik dan meninggalkanku merutuki kebodohan diri sendiri.





"You should say sorry to him" Shania meletakkan segelas Double Shot Espresso dihadapanku. Kami sedang di perpustakaan pusat dan memutuskan untuk menikmati kopi sebelum melanjutkan kelas berikutnya. Aku benar-benar membutuhkankan kopi karena sudah dua hari ini aku tidak bisa tidur karena memikirkan pacarku yang tidak bisa dihubungi.

"Sampai kapanpun gue ga akan izinin Gre mendaki apalagi jadi anak gunung seperti mapala-mapala freak di kampus kita. Shanju, lo tau sendiri mereka punya kehidupan sendiri. They are.. freaking me out."

"Tapi jelas-jelas cowok lo milih buat mendaki instead of cuddling with you all day long. Kita lihat dulu deh sebulan dua bulan. Kalo emang tuh bocah mulai aneh-aneh gue bakal ngadep Sakti, ketua organisasi Mapala buat ga lolosin Gracio. It just a piece of cake. Mending lo mikirin gimana caranya baikan sama Cio sebelum dia cari kos. Gue tau lo ga akan rela."

Iya, tentu saja aku tidak rela jika Gracio pindah dari apartemenku. Semelelahkannya ngurus bayi besar itu, tetap saja bersamanya memberi banyak kebahagiaan. Dia kalau lagi mode penurut bakal seperti anak kucing yang manis dan siap mengikuti apapun yang kuinginkan. Aku ga masalah dengan segala kebiasaan dia yang jorok, berantakan, ceroboh, malas, as long as he is under my control.

"Coba lo temuin temennya, siapa tau dia keep in touch sama Gracio. Atau, coba tanya Lala?"

"Never in history gue bakal tanyain cowok gue sama Lala!"

.

.

.

"Kenapa ya Kak?" Lala terlihat heran melihat dua seniornya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis menunggunya di koridor kampus. Saat ini Lala telah lancar berjalan tanpa harus menggunakan tongkat lagi.

"Mmmm.." Shania melirik Shani sebentar sebelum melanjutkan "Lo tau Gracio Harlan dimana?"

"Cio? Cio kan sedang pertemuan mapala di Gunung Gede Kak. Kalau boleh tau kenapa ya?"

Shani menghembuskan nafas kasar. Jadi cewek ini sekarang merasa berada di inner circle Gracio sehingga mempunyai hak bertanya tujuan dan maksud mereka mencari Gre?

"Gracio belum mengumpulkan form administrasi OPK, kita mau double check aja." Shania menjadi jubir Shani. Karena mengetahui mood Shani memburuk sejak dia mengeluarkan ide untuk menghubungi Lala.

"Sepengetahuanku Gracio balik besok dari Gunung Gede, mungkin Kak Shani dan Kak Shania bisa coba tanya Mario, dia teman dekatnya Cio."

Oh my God, kenapa Shani bisa melupakan Mario? Cowok itu pasti tau informasi tentang Cio!






Head Over Heels [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang