Dilihat dari mana saja, dari dekat ataupun dari jauh, mengenakan outfit apapun, Shania memang sangat cantik. Apalagi saat mengenakan pakaian khas pekerja kantoran muda. Rambut nude light brownnya yang dipotong pendek makin menarik perhatian siapapun yang melihatnya. Seharusnya dengan penampilan freshnya ini, Shania sedang duduk bersama para senior business analyst di McKinsey di mall dekat kantornya. Tapi dirinya malah duduk di salah satu kafe bersama dengan bocah semester 2 yang hari-harinya selalu dipenuhi kegalauan.
"Kenapa potong rambut?"
Adalah pertanyaan pertama yang diucapkan Gracio begitu Shania duduk di mejanya. Bahkan gadis itu belum sempat melepaskan blazernya.
"Kenapa, keren ya? Bagus ya?"
"Bagus.. Freshh.. Tapi kenapa dipotong? Kapan?"
"Itu lo tau kenapa dipotong, new look lah, biar fresh. Kemarin. Sama Shani kok."
"Dia juga potong rambut?"
"Mana mau, dia penuh pertimbangan gitu. Entar gue ga cocok rambut pendek, entar kalo gue nyesel gimana, entar diomelin Mama, ntar Gracio marah ga bilangan.. Hhhh, ribet dah semua dipikirin."
"Padahal udah putus, dia ga harus bilangan sama aku."
"Putus kalian itu kaya cuma omong doangan tau ga. Putus tapi kalo Shani ditanya udah punya pacar bilangnya punya, putus tapi kontak di hp masih pake love love, kamu juga. Pasti ngajak gue ketemu sekarang itu karena Shani kan?"
Tepat sekali dugaan Shania. Gracio memang bingung dengan perasaannya akhir-akhir ini.
"Kamu kenapa?"
"Pusing"
"Pusing kenapa lagi sih"
"Aku kemarin lusa abis ketemu Cishan"
"Ohya? Trus trus gimana?"
Gracio memandang Shania lama. Tapi masih belum mau menjawab pertanyaannya.
"Kenapa sih hmm? Cerita dong"
"Ci Shania, ada lagi deket sama cowo akhir akhir ini?"
"Kenapa sih pertanyaannya? Kamu mau cerita apa hmm kok malah nanya nanya aku. Cepet cerita!" tiba tiba Shania jadi galak melihat laki-laki di depannya masih juga terdiam.
"Ihh, aku tu bingung."
"Bingung apa sih, sini coba sini..." Shania menarik tangan Gracio untuk duduk di sebelahnya. Segera ia memutar tubuhnya agar bisa memandang Gracio dengan leluasa.
"Kalo kamu ga mau cerita biar aku tebak deh, Shani ngajak balikan?"
"Ga ngajak balikan sih, cuma bilang ga akan nyerah sampai balikan"
"Itu mah sama aja" Shania geregetan sendiri. "Terus kenapa, kamu bingung jawabnya?"
Gracio mengangguk.
"Kenapa bingung, kamu masih cinta kan sama dia?"
Gracio mengangguk lagi, udah seperti pajangan di mobil.
"Terus? Jangan bilang karena aku lagi."
Kali ini Gracio terdiam. Shania hanya bisa menghela nafas lelah.
"Serius karena aku? Coba aku tebak, kamu ga enak nerima dia karena ungkapan cintaku kemarin?"
Gracio masih terdiam. Jika saja moodnya sedang tidak bagus, Shania bisa saja sudah mengamuk di kafe ini.
"Yaampun ya, lama-lama pusing aku ngurusin kalian ga beres-beres."
Gadis itu menyandarkan tubuhnya di kursi dan meminum habis java bean toffee nut-nya. Bukannya menjadi financial analyst, namun pekerjaan Shania akhir-akhir ini lebih mirip relationship analyst dengan klien tetap dan mungkin akan menjadi klien abadinya adalah pasangan paling bucin yang dia kenal, Gre-Shan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels [END]
Fiksi PenggemarHead Over Heels, merupakan definisi dari orang yang tergila-gila akan cinta, yang mau melakukan apapun demi orang yang dia cinta. Dan Gracio beserta Shani adalah definisi sempurna dari bucin itu sendiri. Yang 1 polos, lambat, dan ceroboh. Satu lagi...