Tidur Gracio tidak nyenyak. Entah alam bawah sadarnya terlalu memikirkan masalah ini atau karena mereka telah memutuskan untuk berjuang. Ia bangun lebih pagi dari biasanya, bahkan lebih dulu dari cuitan Batsu dan Kyo.
Lelaki itu mengamati wajah Shani yang tertidur dalam pelukannya. Damai dan menenangkan. Ia kesampingkan poni yang menutupi wajah gadis itu.Tuhan, terima kasih karena memberiku kesempatan bersama orang sebaik dia.
Jika Tuhan memberikan pilihan untuk memutar kembali waktu, Gracio tidak akan mengubah suratan takdir apapun yang saat ini mereka jalani. Ia masih akan mendekati Shani hari itu, saat hari pertama MOS. Dia juga akan tetap menyatakan perasaannya pada Shani. Gracio bahkan tidak berniat untuk lahir dengan memeluk keyakinan yang berbeda dari saat ini. Pada titik ini, Shani dan Gracio sepakat bahwa agama yang given ke mereka merupakan agama yang paling sesuai dengan filosofi hidup masing-masing.
Jika waktu kembali ke awal, Gracio masih akan memperjuangkan Shani sekuat ini. Bahkan mungkin lebih dari ini. Ia tidak akan membuat gadis ini menangis. Karena Shani bukan hanya menerima dirinya apa adanya, gadis itu mengajarkan Gre untuk menjadi lebih baik.
Gracio mencium bibir Shani dengan lembut. Hanya menempelkan bibir mereka agar gadis itu tidak terbangun karena hari masih sangat pagi. Dengan perlahan ia menarik diri dari pelukan posesif Shani namun masih betah memandangi wajah kekasihnya dari ujung tempat tidur.
Begitu Gracio hendak menuju toilet, ia termenung memandang tulisan yang entah kenapa baru ia sadari tertempel di dinding. Padahal tulisan itu sangat besar. Tertempel di depan meja belajar Shani.BALIKAN SAMA GRE
Ia menoleh ke sosok Shani yang masih tertidur dengan pulasnya, dan tidak pernah ada kelegaan sebesar ini ketika mengetahui Shani juga memperjuangkannya.
Cahaya matahari mulai menerobos masuk melalui celah tirai kamar yang sedikit terbuka, membuat Shani mengernyit karena tidurnya terganggu. Masih dengan mata tertutup dia meraba ranjang sebelahnya, mencari sosok sang kekasih yang kemarin malam masih memeluk Shani dengan erat.
Begitu menyadari tempat di sebelahnya kosong, Shani segera membuka mata dan bertanya-tanya apakah kejadian kemarin hanya mimpi?Jantungnya sudah memompa darah dengan cepat, namun hembusan nafas lega keluar dari mulutnya ketika menyadari pakaian Gracio tergantung di pintu lemarinya, berdampingan dengan jaket almamater kampus mereka.
Lho? Siapa yang menyiapkan jas almamaternya?
Sore ini, di sesi terakhir dia memang akan sidang skripsi. Itulah sebabnya akhir-akhir ini dia sibuk menghabiskan waktu memantapkan referensi mengenai topik yang dia bahas. Dan melihat tidak ada manusia lain di apartemen ini selain Gracio, Shani menyimpulkan bahwa Gracio yang melakukannya.
Tidak hanya jas almamater yang telah siap, namun juga berjejer kotak sepatu di bawah lemari. Pasti Gracio kebingungan memilihkannya dan berinisiatif menyiapkan semua. Hufft Gre...
Belum cukup dikagetkan oleh itu semua, ditambah lagi dengan keterkejutan Shani pada tulisan yang dia tempel di dinding kamar. Bukan terkejut karena di lupa melepaskannya, bukan. Shani sudah pasrah jika kebucinannya yang abadi diketahui oleh Gre. Namun ia terkejut dengan tulisan tangan Gracio di bawah kalimat itu.
Congratulation Sayang, you did it :)
Kalimat pendek dengan spidol biru yang mampu membuat senyumnya merekah sempurna. Hingga tidak perlu menunggu lama, setelah selesai bersih bersih ia langsung menuju ke ruang tengah. Dan memang Gracio terlihat sibuk di dapur. Gracio kerasukan apa?
"Morning Ci, udah bangun? Bentar ini aku siapin fruit bowl sama yogurt buat kamu. Duduk di meja makan aja Ci"
Shani yang sudah akan menghampiri Gracio berhenti dan memilih duduk dimeja memperhatikan kesibukan kekasihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels [END]
FanfictionHead Over Heels, merupakan definisi dari orang yang tergila-gila akan cinta, yang mau melakukan apapun demi orang yang dia cinta. Dan Gracio beserta Shani adalah definisi sempurna dari bucin itu sendiri. Yang 1 polos, lambat, dan ceroboh. Satu lagi...