Gracio POV
"Gracio, apa hal favoritmu selain mendaki gunung?"
hal favoritku?
Nugget mcD yang bisa aku makan 1 paper bag penuh? Cream Cheese puffs? Atau segelas cokelat hangat?
Aku menggelengkan kepala. Kenapa semuanya tentang makanan?
"Aku suka main game Ka, suka fotografi, dan aku suka naik motor."
"Itu kan kegiatan kamu sehari-hari." Veranda, seniorku di tempat magang mengembungkan pipinya, lucu. Sedangkan aku hanya menyeringai karena tidak memberikan jawaban sesuai keinginannya.
"Hal favoritmu yang bisa buat mood kamu bener-bener membaik. Kalo aku, aku bakal merasa jauh lebih baik kalau lagi selimutan di kasur dan baca buku koleksiku."
Dikala hampir semua rekan kerja kami telah cepat-cepat pulang karena ini Jumat, kami malah mengamati lalu lintas Jakarta yang padat melalui dinding kantor yang semuanya terbuat dari kaca. Aku duduk lesehan di karpet kantor, sengaja berpindah dari meja meeting kesini untuk melihat padatnya lalu lintas ibukota.
"Pelukan." Dari Ci Shani.
Tiba-tiba kata-kata itu keluar begitu saja, dan Ka Ve langsung menatapku.
"Anak kecil banget."
Aku hanya tersenyum. Aku merindukannya.
"Pelukan yang gimana? Saat kamu sedih? Atau pelukan random Mama ke kamu?"
Aku hanya terdiam dan membayangkan bagaimana rasa pelukan Ci Shani yang sudah satu tahun ini tidak pernah aku rasakan.
"Pelukan saat kami kangen karena lama ga ketemu. Pelukan saat Mama harus ngizinin aku pergi mendaki. Pelukan saat aku rindu dan takut kehilangan Mama." Iya, Mama Shani.
"Kamu pasti deket banget sama Mama kamu."
Aku hanya mengangguk. Dan entah kenapa setiap mengingat dia aku akan langsung tersenyum seperti orang bodoh.
"Mama itu galak. Banget. Hampir tiap hari aku kena omelannya karena berantakan. Katanya ga ngehargain karena dia udah bersih-bersih. Tiap pagi aku dibangunin, disiapin pakaian, disiapin sarapan, disuapin. Dia sabar cuci baju aku yang kotor banget abis mapala, dia yang selalu inget beliin keperluan mandi aku, bahkan sampai underwear aja aku mesti beli dianter dia."
Senyum memang masih terpatri di wajahku, namun ada sesuatu yang sepertinya akan keluar dari mata. Ka Ve tertawa dan mengacak rambutku. Mungkin dalam bayangan Ka Ve yang aku bicarakan itu adalah sosok Mama kandungku. Namun bukan beliau sayangnya. Yang ada dipikiranku adalah sosok wanita yang bahkan mencurahkan perhatiannya melebihi Mama kandungku. Seseorang yang dengan sabar dan tulus memastikan aku mendapatkan apa yang aku ga pernah dapatkan dari sosok orang tua.
Ci Shani memang sebaik itu.
"Kamu anak Mami banget dong, trus sama Papa deket ga?"
Entah mengapa Ka Ve begitu tertarik pada kehidupanku. Ia sampai menutup buku Seni Hidup Minimalis karya Francine Jay yang sejak tadi dia baca.
"Papa yaaa... Papa itu kalo marah nyeremin. Over protektif. Setiap pagi Papa masukin uang ke kantongku katanya buat jajan. Padahal aku udah ada uang bulanan sendiri. Tiap siang kalau waktu istirahat siang kami sama, dia ngajak aku makan dan bayarin makanku. Papa suka beliin aku voucher game, nintendo DS, drone. Papa juga yang sering jemput aku kalau pulang mendaki"
"Kok bisa seperhatian itu sih sama kamu, emang kamu ga punya sodara?"
Ia meluruskan kakinya dan bersandar pada dinding kaca. Sepertinya lautan kendaraan di bawah kurang menarik daripada ceritaku. Atau mungkin wajahku ketika bercerita karena Ka Ve terlihat tidak mengalihkan pandangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels [END]
FanfictionHead Over Heels, merupakan definisi dari orang yang tergila-gila akan cinta, yang mau melakukan apapun demi orang yang dia cinta. Dan Gracio beserta Shani adalah definisi sempurna dari bucin itu sendiri. Yang 1 polos, lambat, dan ceroboh. Satu lagi...