Sedari tadi Shani enggan untuk bangkit dari ranjang dan keluar dari gulungan selimut tebalnya. Waktu menunjukkan pukul 11 siang, matahari sudah semakin terik, menyinari ruang kamar Gracio yang sekarang dia tempati. Namun untuk menutup tirai dan menghalangi cahaya matahari masuk ke kamar itu saja Shani enggan untuk beranjak. Dirinya menyapu pandangan pada kamar kekasihnya, satu-satunya ruangan yang tidak bisa dikontrol Shani, sekeras apapun dia berusaha merapikannya namun kamar itu satu-satunya bukti bahwa ada makhluk hidup lain di apartemen rapi ini selain dirinya.
Shani POV (while playing Dengarkan dia – Rindu)
Ternyata benar, terbiasa bersama membuatku tersiksa. Kesalahan fatal yang aku lakukan mungkin adalah bergantung pada kehadiran Gracio. Aku tak pernah sedekat ini dengan seseorang, bahkan kekasihku itu bukan hanya menjadi sosok pacar. Lambat laun, dia menjelma menjadi sosok sahabat, dan adik kecil yang seperti begitu mengidolakan kakak perempuannya, which is me.
Ketika aku harus menetap di pinggiran Jakarta sedangkan dia masih SMA, aku terkadang berlaku keras padanya. Memarahinya yang sering mendatangiku di kampus, atau ke apartemen. Dia yang masih menggunakan seragam SMA dengan motor kesayangannya mendatangiku hanya untuk bertemu. Saat itu aku selalu memarahi dan mengusirnya, mempertanyakan kewarasan Gracio yang seperti kurang kerjaan.
Hingga mendekati Ujian Nasional, dan Ujian Masuk Perguruan Tinggi kebiasaan itu berhenti, baru aku menyadari bahwa ternyata aku begitu merindukannya. Merindukan senyum manis dan tawa bodohnya, tingkah manja dan ngeselinnya.
Selama ini hanya aku yang selalu sibuk. Sibuk dengan tugas kampus atau organisasi. Sibuk dengan NGO, atau dengan sahabat-sahabatku. Meninggalkan dia berjam-jam tanpa pernah berpikir apa Gracio merindukanku.
Dan sepertinya aku memberikan suatu kebebasan pada Gracio, dan itu menjadi pembiasaan. Call it Karma, tapi semenjak Gre tidak lagi muncul di depan pintu apartemen, atau menunggu di sebelah mobilku, aku mulai merindukannya. Merindukan tingkah kocak dan pecicilannya.
Pembiasaan itu ternyata terbawa sampai sekarang, dimana Gracio asik sendiri dengan dunianya. Meninggalkan diriku yang malah selalu ingin menghabiskan waktu bersama Gracio setiap saat.
Aku menatap layar handphone sekali lagi. Gre berjanji akan menghubungiku, namun sampai detik ini, belum juga ada tanda-tanda bocah itu ingat akan janjinya. Padahal kan ini sudah jam 11 siang. Ngapain sih diatas gunung lama lama?! Kalau udah sampai atas ya turun dong?
Gimana sih!
***
Setelah selesai membongkar tenda, Gracio melangkah ke daerah yang lebih tinggi dimana sinyal dapat tertangkap oleh handphonenya. Tidak mau menerima amukan kekasihnya, Gracio langsung menghubungi Shani.
"Sayang! Kenapa baru ngubungin sih? Kamu gatau ini uda jam berapa?"
"Kan tadi sibuk sayang, ini juga baru mau turun."
"Baru mau turun? Janjinya sampai rumah malem ini, boong kan kamu."
Gracio tersenyum membayangkan kekasihnya pasti sedang merengut karena dirinya tidak dapat menuruti permintaan Shani untuk balik malam ini.
"Kan ikut rombongan Kak Sakti, Ci. Jadi ya ikut jadwal mereka."
"Tapi turun kan cepet, kalau naik 12 jam, turun paling 6 jam, nanti aku deh yang jemput di stasiun kereta."
"Mana ada Sayang, kamu kira turunnya pake perosotan bisa 6 jam."
"Bukannya turun selalu lebih cepat?"
"Turun justru kadang lebih susah, makanya nanti kamu rasain mendaki biar tau."
"Ge, beneran kamu mau mendaki pas tanggal 31? Kenapa ga liburan gitu, ke Kepulauan Seribu. Kenapa mendaki sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels [END]
FanfictionHead Over Heels, merupakan definisi dari orang yang tergila-gila akan cinta, yang mau melakukan apapun demi orang yang dia cinta. Dan Gracio beserta Shani adalah definisi sempurna dari bucin itu sendiri. Yang 1 polos, lambat, dan ceroboh. Satu lagi...