Chapter 20. Eksekusi

455 28 0
                                    

Di depan gerbang desa, para perampok tengah menyiksa sang demang. Mereka mengikatnya di sebatang pohon, lalu memukulinya beramai ramai. Sementara itu, Jalada duduk santai diatas sebongkah batu, sambil menyaksikan sang demang dipukuli anak buahnya.

Di pinggir gerbang desa, empat orang duduk terikat dijaga oleh dua orang perampok. Wajah mereka babak belur, dan tubuhnya terluka cukup parah. Mereka adalah Ki Nambi, Dawis, dan dua orang prajurit Janti yang tersisa.

"Demang Yasa! Lihat sekarang desamu ini. Hancur lebur!" Cerca Jalada.

"Kakak, kenapa kita berlama lama disini? Bunuh saja mereka langsung, ambil hartanya, selesai." Cerocos Kijan.

"Nikmati saja dulu, toh dia sudah tidak bisa berbuat banyak." Balas Andaka.

"Tahu apa kau!" Ujar Kijan sinis. Dia kesal karena setiap gadis desa yang hendak dipermainkannya langsung dibunuh oleh Andaka.

"Tunggu saja, Lodra dan anak buahnya juga masih mengejar warga yang berhasil kabur. Kupita pun juga masih ada di dalam desa." Jawab Jalada.

"Kakek!" Terdengar suara anak kecil menjerit dari balik gerbang desa.

Dua anak kecil berlari keluar menghampiri sang demang yang masih disiksa. Keduanya berusaha menghentikan keganasan para perampok. Mereka memukul mukul seorang perampok yang tengah asyik menampar sang demang. Usaha mereka itu pun sontak menjadi bahan tontonan para perampok lainnya. Mereka tertawa geli melihat usaha yang dilakukan kedua anak itu.

Tiga sosok keluar dari dalam desa, mereka perlahan berjalan mendekati sang pemimpin perampok. Nyai Kupita yang berjalan paling depan menghampiri Jalada, lalu membisikkan sesuatu ke telinganya, "Sayang, desa ini sudah bersih. Sudah tidak ada lagi manusia yang tersisa di dalam desa, terakhir adalah dua cacing ini. Sisanya sudah kabur dikejar Lodra."

"Bagus! Kau memang tidak pernah mengecewakanku." Ungkap Jalada senang.

"Anak buahku! Mulai eksekusinya sekarang juga! Kijan, bawa kedua anak itu ke samping."

"Harwaka! Pegang kuat kuat tubuh tua bangka itu. Jangan sampai dia memberontak. Biar dia lihat bagaimana para warganya mati di depan matanya." Lanjutnya.

Janu dan Wulung yang masih terus menyerang para perampok segera ditahan oleh Kijan. Diseretnya kedua anak itu ke samping para tawanan yang lain. Lalu diikatnya keduanya dengan tali rotan.

Seorang prajurit lantas diseret ke tempat yang agak lapang. Dihadapkannya prajurit itu ke arah sang demang. Disini Demang Yasa hanya bisa menangis, wajahnya sudah babak belur. Dia sudah tidak bisa berbuat apapun lagi. Tenaganya sudah terkuras dan luka lukanya pun sangat parah. Sang prajurit juga ikut menangis, dia tampak ketakutan.

Dengan sekali arahan jari dari Jalada, seorang perampok yang jadi algojo mengayunkan kapak tepat memenggal kepala si prajurit. Sang demang yang menyaksikan pembunuhan itu hanya bisa memejamkan mata. Dadanya sesak dan pedih, batinnya kecewa dengan diri sendiri, dan hatinya merasa benci yang amat sangat kepada Jalada.

Sementara itu kedua anak kecil yang masih terikat juga melihat pemandangan mengerikan itu. Mereka berdua berteriak teriak ketakutan, wajah mereka pucat. Wulung yang tidak kuat melihat adegan itu langsung pingsan setelah menjerit kencang.

Setelah korban pertama terbunuh, selanjutnya giliran prajurit satunya yang diseret ke tengah lapang. Prajurit itu menjerit jerit meminta tolong dan memohon mohon untuk dibebaskan. Namun disini usahanya sia sia belaka, Jalada tetap tidak bergeming. Korban kedua pun akhirnya gugur.

Untuk korban ketiga yang akan dibunuh, Jalada memilih Ki Nambi. Sang lelaki tua penasehat kademangan tersebut hanya diam saat diseret ke tengah lapang. Mata merahnya menatap tajam ke arah Jalada. Aura kebencian terpancar dari kedua bola matanya. Giginya gemerutuk seakan hendak menelan bulat bulat si pemimpin perampok.

Dia pun lantas menoleh ke depan. Dilihatnya sang demang hanya bisa tertunduk menangis. Beberapa saat kemudian dia menoleh lagi kearah para tawanan yang tersisa. Dia tersenyum melihat dua anak yang terikat di dekat gerbang. Selanjutnya dia menoleh ke atas, lelaki tua itu menatap langit.

"Surga! Apa kau mendengarku?! Disini, aku menyesal menjadi orang lemah! Dan aku menyesal tidak dapat melindungi siapapun di sekitarku! Aku harap di kehidupan selanjutnya aku bisa menjadi lebih kuat! Dengan darah yang tertumpah, semoga karma membalas!" Teriaknya kencang.

Jalada hanya tertawa sinis, jarinya menjentik.

Seketika sebuah tebasan golok dengan cepat memutus leher Ki Nambi. Tubuh tua itu pun gugur, kepalanya jatuh menggelinding, satu nyawa pun hilang.

Janu menangis ketakutan, tubuhnya menggigil, hendak menjerit pun rasanya tak sanggup. Kata kata terakhir Ki Nambi terngiang di otaknya. Anak itu paham apa maksud ucapan lelaki tua itu. Tanpa kekuatan, kita tidak akan bisa melindungi siapapun. Tanpa kekuatan, kita hanya akan dijadikan mangsa oleh siapapun. Dan tanpa kekuatan, maka yang jahat akan selalu berkuasa.

JANU : Tahap AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang