Chapter 96. Batu Ketumbar

357 19 0
                                    

"Tuan tumenggung, tugas kami disini telah selesai. Saatnya kami pergi!"

Janu dan kawan kawannya berlalu. Mereka hendak meninggalkan ruangan.

Tumenggung Amuk Kumbara sebenarnya sedikit kecewa melihat keempat remaja itu pergi. Mereka telah berjasa sangat besar dalam membantunya menjaga desa. Namun dia pun sadar kalau mereka bukan bagian dari pasukan Mataram, dia hanya bisa pasrah melihat mereka berlalu.

"Para pendekar sekalian, sekali lagi, kalau butuh bantuan, kami siap dengan senang hati membantu kalian." Ujarnya lagi.

"Terimakasih tuan tumenggung." Sambil memberi hormat, Janu dan kawan kawan akhirnya mengundurkan diri dari ruangan itu.

Matahari sudah berada di ufuk barat saat keempatnya tiba di pinggir sungai dimana terdapat batu ketumbar yang mereka cari. Disana, batu itu berdiri kokoh seperti karang di pinggir sungai, tertimpa aliran sungai yang cukup deras.

Benar saja informasi dari sang tumenggung. Batu misterius itu berwarna merah kekuning kuningan seperti ketumbar.

Saat Malya mendekat, dia merasakan adanya energi kuat bekas sengatan petir yang mengalir di seluruh permukaan batu. Kawan kawannya juga merasakan hal yang sama, namun tak sekuat yang dirasakan Malya.

'Inilah yang kucari!' Pekik Malya dalam hati.

Malya merasakan ada ketertarikan yang kuat akan batu tersebut.

"Batu ini seperti memanggil jiwaku. Aku rasa ada kecocokan antara batu ini dengan perasaanku." Gumam Malya.

"Bagaimana kita membawa batu sebesar ini?" Timpal Rangin.

"Kita harus memotongnya! Kita ambil sedikit saja, seperlunya." Saran Janu.

"Potong? Bagaimana caranya memotong batu sebesar ini?" Cerocos Rangin.

"Aih, kita tidak ada alat sama sekali." Cicit Wulung.

"Aku juga tidak menduga kalau batu yang kira cari sebesar ini. Kalau aku lihat bawahnya, mungkin saja masih ada bagian besar yang terkubur." Terang Malya.

"Emm... Bagaimana kalau kita pikirkan besok saja? Hari sudah menjelang malam, pamali kalau melakukan kegiatan." Saran Janu.

"Baiklah." Sahut ketiganya.

Malam itu mereka kembali ke pinggir desa. Mereka melakukan meditasi seperti biasa, menunggu hari esok tiba.

Keesokan harinya, mereka ditemui oleh Tumenggung Amuk Kumbara. Sang tumenggung kebetulan hendak berpatroli saat menjumpai mereka. Sedikit kaget sang tumenggung melihat keempatnya masih berada di sekitar desa.

"Tuan pendekar! Kalian masih berada di sini?" Ucap sang tumenggung sambil memberi salam.

Janu dan Rangin yang sudah kembali dari meditasinya tersenyum dan memberi salam kepada sang tumenggung. Mereka dalam hati memuji kedisiplinan sang tumenggung.

"Kami kemarin sudah melihat batu ketumbar yang kami cari. Namun karena tidak ada alat pemotong, kami kesulitan untuk memotong beberapa bagian dari batu. Kami kemari ingin meminjam alat dari warga."

"Begitu rupanya! Emm, bagaimana kalau kami membantu tuan pendekar mengambil batu tersebut?" Ujar sang tumenggung menawarkan bantuan.

"Wah, apa tidak merepotkan?"

"Tenang saja tuan. Kalian sudah mau merepotkan diri untuk membantu kami disini, sekarang ijinkan giliran kami membantu kalian."

"Begini saja tuan, kalau tuan mau menunggu, kami akan kerahkan pasukan untuk memotong batu tersebut. Mungkin lusa atau tiga hari lagi batu itu kami serahkan kepada tuan. Bagaimana?"

"Eh, sepertinya kami tidak bisa menunggu selama itu. Mungkin begini saja, kalau kalian mau membantu kami, kami hanya butuh sedikit saja. Kami sekarang juga masih harus pergi ke Pegunungan Sewu dan sekitar seminggu lagi baru kembali. Nanti kalau kami kembali, akan kami ambil disini."

"Ah! Baiklah kalau begitu."

Sambil berlalu, sang tumenggung akhirnya berpamitan untuk kedua kalinya dengan mereka. Malya dan Wulung yang juga sudah selesai dengan meditasinya ikut berpamitan.

Mereka pun berpisah. Keempat remaja itu akhirnya melanjutkan perjalanan ke timur, ke arah Pegunungan Sewu.

JANU : Tahap AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang