Chapter 117. Pasca Penyerangan

347 20 1
                                    

"Kak Suli! Semua kawanan perampok sudah kami tumbangkan. Jalada, Andaka, dan Kijan sudah tewas semua, sisa Nyi Kupita yang berhasil melarikan diri ke hutan." Lapor Wulung.

"Coba kalian periksa sekali lagi, siapa tahu masih ada yang bersembunyi di dalam pondok tau di pinggir bukit."

"Baik kak!"

Wulung lantas mengajak beberapa murid lain untuk berkeliling. Sementara itu Malya berdiri terpaku menatap Janu yang tengah bermeditasi menyembuhkan diri.

"Kak, apa dia baik baik saja?" Tanya Malya kepada Suli.

"Dia baik baik saja, serangan tadi hanya melukai bagian dalam sedikit saja, tidak berpengaruh besar. Dengan ramuan buatanku ini, semua luka dalam akan sembuh seketika, bahkan mungkin bisa memicu peningkatan kekebalan tubuh menjadi lebih baik lagi." Jawab Suli santai.

"Ramuan macam apa itu kak?" Gumam Malya.

"Hehehe, kau tidak perlu tahu. Ini rahasia!" Suli tersenyum tipis.

"Aish! Dasar kakak gendut!" Umpat Malya sedikit kecewa. Dia sangat penasaran dengan bubuk misterius milik Suli.

Suli tidak menjawab, dia hanya tertawa mendengar umpatan Malya.

Beberapa saat kemudian, Wulung bersama para murid yang lain kembali lagi ke tempat itu. Mereka lantas melaporkan bahwa sarang perampok sudah kosong.

Lama sesudah Wulung, Rangin yang diberi tugas mengumpulkan para tawanan dari perampok itu pun juga kembali. Di belakangnya, belasan wanita berpakaian berantakan dan tampak kotor, bahkan ada pula yang tidak mengenakan pakaian sehelai pun. Mereka semua ikut berjalan tertatih mengikuti Rangin.

Mereka itu adalah para tawanan wanita hasil penculikan dan perampasan para perampok. Kondisi mereka sangat lemah dan kurus kering, rambutnya acak acakan, sementara tatapan mata mereka banyak yang kosong. Mungkin akibat lamanya mereka ditahan disana tanpa ada pertolongan ataupun jalan untuk melarikan diri.

Melihat kondisi para tawanan yang sedemikian parah, para murid memberikan pakaian atas mereka untuk menutup tubuh para wanita yang terbuka. Sambil menangis, para tawanan berkali kali mengucap terimakasih kepada para penyelamatnya. Seakan tidak percaya kalau mereka sudah aman, mereka berusaha bergerombol di dekat para murid Perguruan Pinus Angin.

"Dari kalian semua, siapa yang paling dituakan disini?" Tanya Suli.

Seorang wanita maju menghampiri Suli, "Saya tuan."

"Asalmu darimana dan siapa namamu?"

"Nama saya Kusuma dari Kademangan Maruti, tuan pendekar. Tolong kami tuan, kami sudah mendekam disini sangat lama, kami ingin pulang."

"Bagaimana kalian bisa berakhir disini? Ada berapa saja jumlah kalian?"

"Kebanyakan dari kami adalah para wanita korban penculikan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh para biadab itu. Mereka menculik kami dari desa desa yang mereka rampok, kemudian menjadikan kami sebagai budak nafsu mereka disini. Sejak saya diculik berbulan bulan lalu hingga sekarang, hanya kami yang ada disini yang tersisa dari para tawanan. Yang lain tewas dibunuh, atau mati bunuh diri." Gurat kesedihan terpancar dari wajah si wanita saat menjawab pertanyaan itu.

"Apa dari kalian ada yang berasal dari Janti?" Janu ikut bersuara. Dia sudah bangun dari meditasinya, sepertinya kondisinya sudah sedikit membaik.

"Tidak ada tuan, yang berasal dari Janti sudah tewas semua." Ungkap wanita itu jujur.

"Owh..." Janu merenung, dia sedikit kecewa dan sedih. Dia seolah menyalahkan dirinya sendiri yang terlambat memberi pertolongan kepada warga tanah kelahirannya.

"Sudahlah kak Janu, tidak usah disesali. Yang penting sekarang perampok Tanduk Api sudah tamat, dan Kadipaten Lasem sudah aman." Wulung memberi semangat kepada Janu. Dia yang paling dekat dengan Janu, dia pula yang paling bisa merasakan apa yang ada di dalam hati Janu.

JANU : Tahap AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang