Chapter 40. Pusat Kitab

390 25 0
                                    

"Kak Atraman, aku mau bertanya. Apabila ada dua orang di tahap berbeda bertarung, apakah orang di tahap lebih rendah bisa mengalahkan orang di tahap lebih tinggi?" Seorang anak bertanya.

"Mana mungkin bisa!" Sahut anak yang lain.

"Hmm... Itu bisa saja terjadi. Menurutku ada beberapa hal yang membuatnya mungkin. Yang pertama adalah karena pengalaman bertarung yang lebih banyak. Yang kedua adalah karena adanya suatu kondisi tertentu, seperti keracunan, kutukan, atau apapun yang melemahkan musuh. Dan yang ketiga adalah karena bakat."

"Disini kalian jangan pernah sekalipun meremehkan bakat. Bisa saja seseorang yang kalian anggap lemah mengalahkan mereka yang tampak lebih kuat. Biasanya mereka memiliki suatu bakat yang unggul seperti kecerdikan, taktik, kesabaran, reflek serang, dan lainnya."

Beberapa anak melanjutkan bertanya, dari yang ilmu bela diri hingga pertanyaan lain seputar peningkatan kekuatan. Disini Atraman menjawab dengan sabar semua pertanyaan para murid baru.

Dari taman asoka, para murid berkeliling lagi. Di sepanjang perjalanan mereka menjumpai beberapa taman lain seperti taman asoka. 

Kebetulan dua taman diantara yang mereka jumpai sedang ramai dengan para murid dan seorang guru yang sedang mengajar. Mereka disambut hangat oleh para murid dan guru tersebut.

Setelah dari lokasi taman taman itu, para murid baru digiring Atraman berjalan berbelok arah. Perjalanan yang tadinya terus menanjak kini agak sedikit turun.

Hingga tibalah mereka di sebuah lembah hijau nan subur. Disana terlihat sebuah mata air di atas bukit yang mengalir melalui sungai kecil melewati hamparan sawah dan kebun di bawahnya. Disisi lain ada beberapa kandang yang diisi dengan ternak ternak yang tampak gemuk.

Pemandangan itu sekarang terlihat lebih normal bagi para murid baru, dibandingkan dengan hutan pinus yang tampak mistis.

"Ini adalah lembah sumber, tempat dimana ternak dan sayuran dihasilkan. Disini juga menjadi ladang tanaman langka yang bisa dijadikan obat, ramuan, dan racun yang mematikan. Ladang tanaman langka dijaga oleh Ki Sura Yudha, beliau adalah sesepuh yang mengajar ilmu obat obatan."

"Kak, itu siapa mereka yang sedang bertani disana?" Tanya Rangin.

"Owh, itu para murid yang sedang betugas bercocok tanam. Disini, di perguruan kita ini, setiap murid bisa mengambil berbagai macam tugas untuk ditukar dengan berbagai macam senjata, ramuan, kitab jurus, atau apapun sesuai dengan perjanjian di daftar tugas."

Para murid baru mendengarkan penjelasan itu, mereka kini mendapat informasi lagi tentang tugas tugas yang dijalani para murid.

Setelah melewati lembah sumber, para murid baru kembali berjalan menanjak. Mereka kini tiba di sebuah bukit di dalam hutan pinus. Disini pun ada sebuah bangunan joglo besar yang tampak lengang. Bangunan joglo itu berbentuk seperti menara karena atapnya yang agak runcing. Aura misterius yang pekat memecah kedamaian suasana di sekitar bangunan, membuat hawa menjadi aneh.

"Baiklah, sekarang kita sudah berada di pusat kitab. Kalian para murid baru sejak awal ujian sudah mengetahui apa unsur yang melekat pada tubuh kalian. Sekarang aku beri waktu, kalian carilah masing masing sebuah kitab meditasi, satu teknik pergerakan, dan satu jurus pertarungan."

"Ingat! Masing masing hanya boleh meminjam satu. Disana ada Ki Ekadanta yang akan mengawasi kalian! Apabila kalian melanggar, tanggung sendiri akibatnya. Khusus Rangin, kau berhak untuk meminjam tiga kitab jurus pertarungan di tahun pertama ini."

"Huft... Aku tidak peduli. Hanya kakek peyot itu saja tidak membuatku takut!" Ejek Malya mendengar nama kakeknya disebut.

Sementara Malya berniat mengambil beberapa kitab, anak anak yang lain berdesak desakan masuk ke dalam bangunan joglo. Di dalam sana terlihat ada sebuah tangga ke atas, tanda kalau bangunan itu bertingkat tingkat lantainya.

Di dalam pusat kitab, Ki Ekadanta sedang duduk bersila diatas sebuah alas sambil memejamkan mata. Para murid yang masuk ke dalam segera diam melihatnya. Mereka tidak berani mengusik ketenangan yang ada di dalam sana. Anak anak itu pun berjalan dengan perlahan dan tanpa membuat suara.

"Hai kakek, bangun! Ini kami sudah tiba!" Tiba tiba terdengar suara Malya, si gadis kecil, membuat kegaduhan dengan berteriak di telinga sang kakek.

Seolah hanya terusik sedikit, Ki Ekadanta membuka mata perlahan. Wajahnya sedikit cemberut melihat kenakalan cucu perempuannya itu.

"Huh! Kau tidak boleh seperti itu Malya. Bertindaklah seperti seorang gadis yang lemah lembut." Tegas sang kakek melihat kelakuan cucunya. Malya hanya mendengus sambil berlalu.

JANU : Tahap AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang