Demang Yasa mencoba untuk menahan amarah, dia tampak tenang.
"Ada apa dengan sikap kalian ini? Datang kemari dengan senjata penuh darah di tangan. Siapa yang tahu sudah berapa banyak yang kalian sakiti. Aku tidak tahu apa yang kalian maksud, dan aku harap kalian segera pergi dari sini! Kalian tidak diterima di sini!" Tegas sang demang.
"Hahaha... Tuan demang tidak usah mengalihkan pembicaraan. Saya harap tuan segera menjawab pertanyaan saya."
"Kau berani mengancamku?"
"Cuih... Andaka, tak usah basa basi lagi. Langsung saja kita hajar mereka! Semakin cepat kita mendapat gulungan itu, semakin cepat pula kita pulang ke markas. Aku sudah tidak sabar ingin mencicipi para gadis yang sudah kita tangkap." Sela lelaki kelabu dibelakang sang lelaki gemuk.
Mendengar hal itu wajah Demang Yasa kian memerah menahan amarah. Dalam hatinya semakin dingin, dia ingin segera menghajar para perampok itu. Namun disisi lain, kesadarannya terus mengingat para warga desa yang lain.
Para prajurit kademangan yang kini berada di dalam pusat kademangan jumlahnya tidak lebih dari tiga puluh orang, sisanya hanyalah warga biasa yang tidak pernah bertarung sama sekali. Sementara musuh di depan ada sekitar empat puluh orang, belum kemungkinan ada musuh yang masih bersembunyi.
Hening sejenak mereka saling bertatapan.
Tanpa ada tanda tiba tiba sebuah anak panah melesat dari balik pohon, mengarah kearah Demang Yasa. Reflek sang demang menahan dengan pedang yang berada di tangan. Pengalaman bertarung sebagai prajurit kerajaan Mataram tidak sia sia. Anak panah itu berhasil ditahan dan terpental saat mengenai sisi pedang.
"Prajurit Janti, serang!" Teriaknya.
Mendengar teriakan itu, para prajurit dan sesepuh yang berada di depan gerbang segera maju ke depan.
Sementara itu, para penjaga yang sebelumnya berjaga berkelompok kini mulai membagi diri lagi. Masing masing orang menempatkan satu atau dua orang di tiap titik penjagaan, sisanya berlari ke gerbang desa. Mereka juga bergegas menghadapi serangan para perampok.
Para penunggang kuda juga tidak tinggal diam. Sambil berteriak teriak, mereka maju menyerang para penjaga gerbang. Disini kedua kubu tampak tegang, senjata saling bersinggungan. Bunyi nyaring terdengar saat dua senjata saling berhadapan, menambah ketegangan suasana.
Di malam yang cerah itu pertumpahan darah tak terelakkan.
Tanpa kenal takut, para pemuda Janti ikut maju menghadapi perampok. Beberapa orang warga bersimbah darah saat menghadapi langsung keganasan para perampok. Mereka yang belum berpengalaman banyak yang tergelepar saat senjata lawan menembus kulit.Di pihak para perampok sendiri juga ada beberapa yang bersimbah darah. Ada yang terluka karena jatuh dari kuda, ada pula yang tidak kuat menahan gempuran senjata para prajurit Janti.
Perang memang tidak mengenal ampun. Dalam beberapa saat saja sudah ada belasan yang bergelimpangan di depan gerbang desa. Kebanyakan korban berada di pihak Janti, namun keberanian mereka membara. Tanpa kenal takut mereka bersatu untuk menghadapi musuh. Dengan jumlah yang lebih banyak, pihak Janti mulai melancarkan siasat mengelompok.
Demang Yasa sendiri sedari awal sudah seperti banteng yang mengamuk. Pemimpin Janti itu seolah sedang menari di tengah gempuran para perampok. Dengan pedang di tangan dia menebas setiap musuh dihadapannya.
Andaka, si lelaki gemuk yang ikut menyerang sang demang merasa sedikit panik saat melihat anak buahnya satu per satu berjatuhan. Fokusnya sedikit terbagi saat melihat anak buahnya yang lain tengah bertarung dengan pasukan Janti.
Melihat Andaka sedikit lengah, sang demang tidak menyia nyiakannya. Dia yang sedari tadi hanya pasif bertahan, kini mulai mengerahkan segenap kekuatannya. Serangannya kini mulai dituju kepada Andaka yang pikirannya sedang terpecah.
Perampok gemuk itu agak kewalahan, serangan bertubi tubi dilancarkan kepadanya. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Anak buahnya yang hendak membantu tidak mampu menahan laju serangan sang demang. Mereka semua dipukul mundur oleh sang demang.
Melihat serangan serangannya tidak mampu menahan kekuatan sang demang, Andaka mulai berpikir untuk mundur. Dia memberi isyarat kedipan mata kepada anak buahnya.
Sesaat mereka agak mundur perlahan, dari arah pepohonan muncul beberapa orang misterius.
KAMU SEDANG MEMBACA
JANU : Tahap Awal
FantasiKisah seorang anak manusia yang berusaha bertahan hidup dan menjadi kuat ditengah pertempuran dua kubu. Dengan berlatar belakang jaman kerajaan Mataram hindu, sang anak berusaha menjadi seorang pendekar yang membantu menciptakan kedamaian di kerajaa...