Hari ke tujuh sejak Janu dan kawan kawannya berangkat dari Perguruan Pinus Angin, ahirnya mereka pun tiba di perbatasan Kadipaten Masin.
"Akhirnya sampai juga! Hahaha, ayo kita ke rumahku!" Ajak Rangin tidak sabar.
"Kak Rangin, nanti saja. Kita ke desa terdekat dulu, cari makan. Aku masih lapar!" Rengek Wulung.
"Aku juga masih lelah, kita istirahat saja di desa terdekat." Saran Janu.
"Huft! Baiklah kalau begitu." Sedikit berat, Rangin mengiyakan.
Sejenak mereka beristirahat di desa terdekat. Disana mereka hanya makan sebentar, lalu berjalan kaki lagi karena Rangin sudah tidak sabaran ingin segera sampai di pusat kadipaten.
Malam hari pun tiba, ketiganya sampai di depan kediaman Rangin. Disana empat orang prajurit berjaga dengan ketat. Melihat Rangin yang tiba tiba mendatanginya, keempat penjaga itu pangling.
"Berhenti! Siapa kalian dan ada tujuan apa kemari?" Tanya salah satu penjaga.
"Paman Trucita, ini aku Rangin! Apa kau lupa?" Sambil menggaruk kepala, Rangin tersenyum aneh. Walau tidak berjumpa hanya dalam waktu tiga tahun, namun sudah mampu membuat para penjaga lupa.
"Hmm... Sedikit sama sih.... Owh benar! Maafkan saya Raden." Sang prajurit segera memberi hormat, diikuti ketiga rekannya.
"Sudah, sudah, kalian disini saja. Aku akan masuk da memberi kejutan kedalam. Oh iya, ini dua sahabatku. Kalau lain kali mereka datang kemari, biarkan saja mereka masuk."
Tanpa menunggu jawaban dari sang penjaga, Rangin segera mengajak kedua rekannya masuk. Para penjaga dan emban yang ditemui semua memberi hormat. Kedatangan mereka bertiga sedikit membuat orang orang itu panik. Bagaimana tidak, sudah tiga tahun berlalu sejak Rangin pergi berkelana keluar rumah.
Di dalam sebuah ruang makan besar, dua orang lelaki dan wanita tengah duduk tenang di kursi makan. Di hadapan mereka tersedia berbagai makanan yang disajikan oleh para emban. Keduanya tampak terbiasa menikmati keheningan suasana makan malam itu.
Sang lelaki berusia sekitar empat puluhan tahun, dengan tubuh yang besar dan kekar, serta ikat kepala dan jubah, membuatnya tampak sangat gagah. Dia tengah sibuk menikmati makanan yang tersedia di piring. Di hadapannya, di seberang meja, seorang wanita berparas cantik sedang mengupas jeruk, lalu disuapkan ke mulut seorang balita di pangkuannya.
"Ayahanda! Ibunda! Aku pulang!" Teriak Rangin muncul di balik pintu.
Kedua suami istri itu sedikit terkejut. Mereka menoleh ke arah pintu.
Rangin yang sudah sangat rindu berlari menghambur ke pangkuan sang ibunda. Dia balik kaget saat melihat ibundanya tengah memangku seorang balita yang sangat imut.
"Rangin putraku!" Sang ayah berdiri menghampiri Rangin yang terdiam di depan ibundanya. Dipeluknya anak itu.
"Kau sudah kembali putraku? Syukurlah kau tidak kenapa kenapa." Ucap ibundanya halus.
"Ibunda, ini... Siapa? Apa ini adikku?"
"Hahaha... Perkenalkan, namanya Barudewa. Dia adikmu." Sahut sang ayah.
Sejenak ibunda Rangin meletakkan sang balita ke samping, lalu bangkit dan ikut memeluk Rangin.
"Sudah lama kau tidak kembali, bagaimana pengalamanmu selama ini?"
"Selama tiga tahun ini Rangin berhasil masuk ke sebuah perguruan tenaga dalam yang bernama Perguruan Pinus Angin. Disana Rangin hanya diperbolehkan berada di dalam perguruan. Sekarang, setelah Rangin mencapai tahap ke empat, baru diijinkan untuk keluar perguruan." Terang Rangin.
Mendengar Rangin berhasil masuk ke dalam sebuah perguruan tenaga dalam, kedua orang tuanya sedikit terkejut. Mereka tampak senang akan hal itu. Itu berarti putra mereka ada kesempatan menjadi orang yang sakti. Disini karma baik pasti akan terkumpul kalau putra mereka berada di jalan yang benar.
"Ckck, kau tambah kurus dan hitam putraku! Mana ada wanita yang mau denganmu?!" Canda sang ibunda. Dia dan suaminya sengaja tidak menyinggung tentang perguruan misterius itu, demi kenyamanan putranya.
"Ibunda ada ada saja. Rangin belum berniat mencari pasangan." Sambil tersipu, Rangin menjawab pertanyaan itu.
"Tadi kau berkata kalau kau sudah berada di tahap keempat. Mana buktinya? Apa kau bisa terbang? Menghilang? Atau, atau... Coba keluarkan api dari mulut!" Goda sang ayah.
Sedikit malu, Rangin membalas, "Kalau ayahanda mau, Rangin bisa membuktikannya. Sekarang, coba ayahanda berdiri, nanti Rangin pukuli, tetapi ayahanda tidak boleh membalas."
"Hahaha..." Tawa ayahandanya meledak. Dia tertawa bukan hanya karena candaan Rangin, namun dia juga senang akan pertumbuhan kekuatan anaknya.
Tampaknya keputusannya mengijinkan Rangin berkelana membuahkan hasil. Dia berhasil masuk ke sebuah perguruan tenaga dalam dan mampu berkembang dengan pesat.
KAMU SEDANG MEMBACA
JANU : Tahap Awal
FantasíaKisah seorang anak manusia yang berusaha bertahan hidup dan menjadi kuat ditengah pertempuran dua kubu. Dengan berlatar belakang jaman kerajaan Mataram hindu, sang anak berusaha menjadi seorang pendekar yang membantu menciptakan kedamaian di kerajaa...