Chapter 72. Desa Mati

369 23 0
                                    

"Kenapa kalian terburu buru ingin kembali ke Perguruan Pinus Angin?" Tanya Mpu Marhantika.

Sehari sejak Janu mencapai tingkat penguatan energi, keempatnya langsung berencana untuk segera kembali ke Perguruan Pinus Angin. Mereka sudah bersiap di depan rumah tamu untuk pergi.

"Disini tugas kami sudah selesai mpu. Kami ingin segera melapor kepada guru kami." Jawab Janu.

"Tinggallah disini beberapa hari lagi!"

"Maaf mpu, kami benar benar tidak bisa. Kami harus segera kembali." Tegas Janu bersikukuh.

"Huft, dasar anak muda! Santai sedikit saja tidak mau." Ucap sang empu ketus.

"Sekali lagi maafkan kami Mpu Marhantika." Sambil terus meminta maaf Janu memberi hormat.

"Baik, baik. Aku paham." Ujar sang mpu kemudian.

"Kalian pergilah! Tapi kalau ada waktu, kembali lagi kemari." Lanjutnya.

"Terima kasih mpu, atas kesediaannya menerima kami beberapa hari ini. Kalau memang waktu mengijinkan, kami siap bekerjasama dengan Perguruan Pedang Emas." Janji Janu.

"Baiklah! Salam untuk Sadhana!"

"Baik mpu."

Janu dan kawan kawannya memberi salam. Mereka pun meninggalkan Mpu Marhantika, dan para murid Perguruan Pedang Emas yang berkerumun di depan rumah tamu.

Setelah berada di Perguruan Pedang Emas selama beberapa hari, mereka akhirnya pulang ke perguruannya. Mereka kembali melewati rawa rawa, melintasi gapura Perguruan Pedang Emas, dan berjalan ke arah selatan.

Lima hari berlalu sejak keempatnya berangkat dari Perguruan Pedang Emas. Rute kembali mereka berbeda dari rute keberangkatan. Rute keberangkatan melintasi hutan lebat dan luas agar bisa cepat tiba di Perguruan Pedang Emas, kini rute pulang berubah melewati pemukiman warga.

Mereka lewat rute yang baru karena permintaan Malya yang ingin mengetahui berbagai macam wilayah. Gadis yang sebelumnya jarang sekali keluar perguruan itu sangat tertarik dengan dunia luar.

Disini rombongan sempat melintasi beberapa desa dan kademangan. Di hari ke lima, siang hari, mereka tiba di sebuah desa. Suasana desa sangat lengang, tidak ada tanda tanda kehidupan.

Mereka tiba di persawahan warga. Ladang sawah itu kosong, tidak nampak ada warga satupun. Di sekitaran ladang tercium bau busuk. 

Saat didekati, ternyata bangkai hewan ternak warga bertebaran dikerumuni lalat. Bangkai itu terlihat masih baru, mungkin sekitar dua hingga tiga hari.

Disini mulai keanehan terlihat, Janu dan yang lain pun mulai waspada. Mereka curiga dengan kondisi desa yang aneh.

Keempatnya lantas mencoba memberanikan diri, masuk ke dalam desa. Mata mereka jeli, melihat sekeliling penjuru desa.

Sampai sini tidak ada apapun yang nampak. Rumah rumah warga kosong dengan pintu dan jendela yang tertutup rapat. Mereka terus bergerak. Sampai ujung desa sebaliknya, bau busuk kembali tercium. Bau itu sangat menyengat, menusuk nusuk hidung. Mereka pun tambah curiga, keempatnya terus berjalan.

Benar saja, dari kejauhan mereka melihat sesosok jasad tergeletak di tanah. Jasad itu terbaring di halaman sebuah rumah di ujung desa.

Saat didekati, jasad itu tampak mengenaskan. Seorang lelaki paruh baya yang wajahnya seperti sedang kesakitan dengan kedua tangan mencekik leher. Matanya melotot dan mulutnya menganga lebar. Bekas busa masih menyembul dari balik mulut. Bercak merah terlihat di sekujur kulit.

"Apa dia tewas diracun? Atau bunuh diri?" Tanya Malya.

"Entahlah, bisa jadi salah satunya. Bagaimana menurut kalian berdua?" Lempar Rangin.

Janu yang sedari tadi diam saja tampak sedang berpikir keras.

"Ah! Aku ingat! Ini sepertinya bukan aksi bunuh diri, melainkan dibunuh orang lain. Rangin, Wulung, apa kalian masih ingat wabah misterius empat tahun lalu?" Teriak Janu.

Wulung dan Rangin mengangguk. Tiba tiba sebersit ingatan melintas di benak Rangin.

"Oh iya! Aku ingat juga. Lihat bercak merah di kulit mayat ini, sama persis dengan korban wabah misterius itu." Teriak Rangin tersadar.

"Aku pikir ini adalah korban dari para penganut ilmu hitam. Mungkin desa ini sudah habis oleh ilmu hitam mereka. Mungkin juga pelakunya adalah para murid Perguruan Lembah Ular, sama seperti empat tahun lalu." Duga Janu.

"Ayo kita selidiki lagi, coba masuk ke rumah ini. Tampaknya para warga desa dikumpulkan  di dalam sini." Perintahnya kemudian.

JANU : Tahap AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang