Ucapan Ki Nambi sangat keras terdengar, menggema sebelum kematiannya. Mungkin karena itu surga memberikan jawabannya.
Sesaat dua perampok hendak menyeret Darwis ke tengah lapangan eksekusi. Dari balik gerbang, muncul sesosok hitam melompat. Dengan gerakan di udara yang cepat dan tangkas, sosok itu menendang dada kedua perampok. Keduanya yang tidak siap dengan serangan itu pun jatuh terpental.
Jalada dan semua anak buahnya terkejut, seketika mereka membeku. Sang penyerang langsung mengeluarkan sebuah pedang besar dari balik punggungnya. Diayunkannya pedang itu ke arah para perampok yang berada di dekat Janu dan Wulung. Beberapa orang tidak sempat bereaksi, mereka terkena tebasan pedang besar itu.
"Kurang ajar! Tangkap anjing itu kemari!" Teriak Jalada marah.
Dia memicingkan mata ke arah Nyai Kupita yang berada di sebelahnya. Dia mempertanyakan kenapa masih ada manusia yang bisa lolos dari wanita itu. Sang nyai yang dilirik tajam pun merasa canggung. Dia lantas melompat ke depan ikut menyerang sosok itu, dengan harapan semoga dimaafkan Jalada.
Tak butuh waktu lama, sosok hitam itu pun dikepung oleh gerombolan perampok. Namun disini dia mampu bertahan, berapapun yang menyerang, tampaknya dia bisa menahan serangan mereka. Bagai binatang buas, perlawanan kawanan perampok serasa tidak ada artinya dihadapan sosok tersebut.
Jalada gusar saat melihat anak buahnya satu per satu tewas tertebas pedang yang menggila. Dia pun mengambil sebatang tombak dari seorang perampok. Dengan mata yang terfokus, dilemparkannya tombak itu ke arah Demang Yasa. Sekali lempar, tombak itu melesat cepat ke tujuan.
Sang demang yang juga kaget dengan kedatangan sosok tersebut tidak menyadari bahaya yang datang. Sementara sosok hitam yang sedang dikeroyok oleh para perampok juga tidak sempat menolongnya. Cepat saja tombak itu melayang dan menancap dalam di dada kiri sang demang.
Pemimpin Janti itu pun tewas. Disini, walaupun tenaga dalamnya sudah mencapai tahap ke enam, namun staminanya sudah terkuras habis. Kondisi lemas, disertai luka yang cukup parah, membuat tubuhnya lemah, yang mengakibatkan tombak itu mudah menembus kulit dan menghujam jantungnya.
"Kakek! Jangan mati kek! Huhuhu... Paman Darwis, tolong kakek demang."
Janu yang melihat kakeknya tewas hanya bisa merintih, dia terus saja berontak. Sementara, Darwis hanya bisa diam melihat pemimpinnya mati. Hati keduanya perih yang teramat sangat melihat sang demang terbujur kaku dengan tombak yang menancap di dadanya.
Kini puluhan mayat terhampar di depan gerbang desa. Para perampok yang sebelumnya menyemut mengelilingi sosok hitam tadi, kini mulai berkurang jumlahnya. Banyak dari para perampok yang bimbang setelah melihat puluhan kawannya tewas. Beberapa orang mulai mundur, menjaga jarak dengan sosok tersebut.
Jalada pun tidak tinggal diam. Melihat kondisi anak buahnya banyak yang tewas, dia pun juga hendak ikut menyerang. Karena banyak perampok yang mulai mundur dan menjaga jarak, kini ruang pandang di dalam kepungan pun mulai terbuka.
Sosok hitam misterius itu pun akhirnya terlihat dengan jelas. Dia mengenakan jubah hitam, dengan rambut panjang sepinggang, caping di kepala, dan pedang besar di tangan. Dia adalah sang lelaki misterius yang berada di rumah makan tempo hari. Tampaknya lelaki misterius itu masih berada di pusat kademangan saat penyerangan terjadi.
Jalada hendak menyerangnya saat tiba tiba si lelaki misterius mengeluarkan beberapa bola kecil dari balik jubahnya. Lelaki itu tampaknya sudah tidak sabar lagi, dia melihat jumlah para perampok masih sangat banyak. Sambil mulutnya berkomat kamit, dia merapal sebuah mantra. Lalu lelaki itu melompat tinggi, dilemparkannya bola bola itu ke berbagai arah.
Ajaib, saat terjatuh menyentuh tanah, bola bola itu langsung meledak dan mengeluarkan asap putih yang sangat tebal. Sontak hal itu membuat para perampok kebingungan. Mereka semua panik, termasuk Jalada dan para wakilnya.
Kesempatan itu pun tidak dibuang sia sia oleh sang lelaki misterius. Dia langsung melesat ke depan, menyerang musuh yang ada di depannya, dan bergerak mendekati ketiga tawanan yang tersisa.
"Kalian bertiga, ikuti aku dari belakang!" Perintahnya kepada Darwis sambil melepas ikatan ketiganya.
Mereka yang mendengar perintah itu pun tak mau menyia nyiakan kesempatan. Darwis dengan sigap membopong Wulung yang masih pingsan. Dibelakangnya, Janu ikut berlari sambil memegang erat pakaian Darwis.
Asap tebal dan pekat menyelimuti gerbang desa, membuat pandangan menjadi gelap. Teriakan serta makian terdengar dari balik asap. Banyak orang yang menutup hidung dan mulut mereka, tidak kuat menghirup asap tersebut. Sementara itu, tiga sosok berlari keluar dari kepulan asap, seorang diantaranya membopong seorang anak kecil. Mereka terus berlari menjauhi gerbang desa, mengambil dua ekor kuda milik para perampok, dan bergegas meninggalkan desa dibelakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JANU : Tahap Awal
FantasíaKisah seorang anak manusia yang berusaha bertahan hidup dan menjadi kuat ditengah pertempuran dua kubu. Dengan berlatar belakang jaman kerajaan Mataram hindu, sang anak berusaha menjadi seorang pendekar yang membantu menciptakan kedamaian di kerajaa...