"Ini adalah ujian tahap akhir! Siapapun yang berhasil lolos akan menjadi murid Perguruan Pinus Angin. Kerahkan seluruh kemampuan kalian disini!"
"Baiklah, ujian tahap keempat dimulai! Siapapun segera naik ke atas arena!" Sambil berkata, Suli melompat keluar arena, diikuti murid murid lainnya.
Segera saja anak anak yang tampak percaya diri langsung naik ke atas arena. Di atas arena terlah berkumpul enam anak yang saling berhadapan. Disana hanya ada satu anak wanita yang berani naik ke atas arena. Mereka saling pandang, wajahnya tegang. Dalam pikiran mereka sudah siap memikirkan cara untuk saling menjatuhkan lawannya.
"Ujian dimulai!" Teriak Suli memecah suasana.
Aba aba dimulainya pertandingan sudah diteriakkan. Mereka yang berada di atas arena langsung melancarkan taktik masing masing. Ada yang dengan brutal memukul dan mendorong, ada pula yang dengan cepat menghindari keramaian dan mencari posisi aman.
Mereka tidak ada yang mau mengalah, bahkan si anak wanita juga sama. Mereka semua menjadi egois dan bengis. Tidak peduli lelaki atau wanita, besar atau kecil, mereka semua berusaha untuk tetap berada di tengah arena.
Jerit kesakitan terdengar di atas arena. Baku hantam, gigitan, cakaran, semua dilakukan untuk menyingkirkan lawan. Beberapa saat sejak pertarungan dimulai sudah terlihat sangat sengit dan kompetitif. Satu anak pun akhirnya tersingkir keluar arena, disusul oleh keempat yang lain, hingga menyisakan satu anak yang terluka parah berdiri di atas arena.
Ujian pun dilanjutkan kembali. Pertandingan kedua, si anak bertelanjang dada naik ke atas arena, bersama lima orang lainnya. Setelah aba aba pertarungan dimulai, dia melancarkan segenap aksinya.
Si anak bertelanjang dada tampak mendominasi pertandingan. Dia dengan tubuh besarnya dengan ganas mengerahkan serangan yang menyakitkan. Lawan lawannya pun hampir tidak berkutik, mereka mampu dilumpuhkan dengan cepat. Tak peduli lagi siapa lawannya, semua dihajar olehnya.
Bagai banteng, si anak tersebut menyingkirkan lawannya satu per satu. Semua yang gugur tidak ada yang bersih dari luka, baik itu lebam maupun tergores. Arena itu cepat sekali menyisakan si anak bertelanjang dada di atasnya. Walau sedikit terengah, dia tetap menampakkan ekspresi menantang. Tidak tampak ada luka sedikitpun di tubuhnya.
"Pertandingan tahap kedua selesai, Rangin lolos!"
Sambil mengepalkan tangan Rangin turun dari arena. Dia adalah anak kedua yang berhasil lolos menjadi murid Perguruan Pinus Angin.
Beberapa anak menyingkir dari pinggir arena saat Rangin turun dari sana. Mereka hanya diam saat si anak bertelanjang dada itu berjalan didepannya, semua yang dilewatinya merasa takut. Melihat keganasannya saat bertarung membuat hati mereka ciut.
Dua anak berdiri berjejer disamping para murid perguruan. Seorang dengan luka luka yang cukup berat, seorang lagi dengan wajah tenang dan dingin melihat kearah arena.
Sementara itu mereka mereka yang gagal dan tersingkir dari arena pun merasa kecewa. Ada yang menangis, ada pula yang hanya diam menundukkan kepala. Dalam hati mereka tidak rela karena sudah mencapai tahap akhir. Tinggal satu langkah lagi, namun gagal karena kelemahan mereka. Mereka yang gagal pun segera disingkirkan menuju ke dalam pondok. Disana mereka diobati dan diistirahatkan.
Janu yang melihat dua pertandingan itu merasa terkesima. Banyak anak yang kelihatan kuat telah masuk ke dalam arena. Mereka adalah sebagian kecil yang berjiwa pemberani dan tangguh. Namun dalam pikiran Janu, anak anak itu masih terlihat gegabah dan tergesa gesa. Mereka hanya mengikuti naluri saja tanpa memperhitungkan kalau babak babak awal pastilah yang kuat yang maju.
Terbukti bahwa tahap tahap awal adalah tahap yang paling kejam. Banyak anak tangguh yang masuk ke dalam arena, banyak pula yang terjadi pertumpahan darah. Banyak yang pingsan, ada pula yang tulangnya tergeser karena terjatuh dari arena dengan keras. Sebagian besar terluka, separuh menangis, selebihnya tersenyum saat dinyatakan lolos. Pertarungan di babak awal memang kacau dan parah.
Anak anak yang menonton beberapa babak banyak yang wajahnya memucat. Mereka sedikit takut apabila membayangkan kalau mereka ada di atas arena. Banyak yang menutup mata saat ada yang terlempar atau terluka. Beberapa yang tidak ingin melihat bahkan sempat menjauh dari sana. Mereka yang tidak memiliki mental yang kuat akan lemas kakinya, mereka pun jatuh terduduk.
Berbeda halnya dengan Janu dan Wulung, keduanya terlihat biasa saja menonton pertarungan itu. Keduanya bahkan tidak menampakkan ekspresi cemas atau gelisah saat melihat darah yang menyembur dari mulut seorang anak. Hal itu bukan berarti mereka mengidap kelainan mental, namun jiwa mereka sudah teruji dengan kengerian pembantaian di Kademangan Janti.
KAMU SEDANG MEMBACA
JANU : Tahap Awal
FantasyKisah seorang anak manusia yang berusaha bertahan hidup dan menjadi kuat ditengah pertempuran dua kubu. Dengan berlatar belakang jaman kerajaan Mataram hindu, sang anak berusaha menjadi seorang pendekar yang membantu menciptakan kedamaian di kerajaa...