Sebuah suara keras kembali menggema saat para murid Perguruan Pinus Angin keluar dari pondok. Suara itu sangat menggelegar, sangar, dan berwibawa.
"Ujian tahap pertama selesai! Tujuh ratus empat puluh tiga anak lolos. Mulai tahap kedua sekarang!"
Suli bersedekap dengan hormat saat suara itu bergema. Sesaat setelah suara itu menghilang, tiba tiba saja ratusan gentong air berukuran besar melayang dari balik jurang. Gentong gentong air itu secara ajaib terbang melayang dan mendarat di depan kerumunan. Seorang murid perguruan membawa dua tusuk dupa panjang lantas menancapkannya di tanah.
"Kalian yang berhasil lolos, ambil satu per satu gentong air ini! Pasang kuda kuda kalian, lalu angkat gentong air ini! Jangan sampai gentong air ini tumpah atau menyentuh tanah. Ujian tahap kedua dimulai saat dupa dinyalakan dan selesai saat dupa kedua telah habis. Sekarang, ambil gentong kalian masing masing! Cepat!" Tegas Suli.
Ramai anak anak mengambil gentong air. Setelah berpencar, mereka segera memasang kuda kuda dan meletakkan gentong tersebut dimanapun posisi yang enak. Masing masing sibuk mengurus diri sendiri, tidak peduli kanan kiri. Banyak yang tidak mampu mengangkat gentong air yang beratnya mencapai puluhan kilo. Mereka yang gagal mengangkat gentong air segera disingkirkan dari lokasi.
Janu cukup kuat untuk mengangkat gentong air miliknya. Sebelumnya dia membantu Wulung mengangkat gentong dan meletakkannya diatas punggung. Wulung yang bertubuh kecil terlihat membungkuk sambil melakukan kuda kuda, otot dan sendi sendi tubuhnya terlihat kencang, wajahnya memerah. Setelah semua anak siap, lalu api dinyalakan dan membakar dupa di tanah, ujian tahap kedua dimulai.
Bintik bintik peluh keluar dari pori pori kulit, ditambah sengatan mentari tajam menghujam. Satu tusuk dupa sudah habis, dilanjutkan dengan dupa kedua.
Dalam setengah waktu ujian itu puluhan anak telah gugur. Mereka tidak kuat menahan posisi kuda kuda sambil membawa gentong air selama itu. Sementara yang lainnya masih berjuang untuk bertahan.
Wulung tampak kelelahan, badannya membungkuk sampai kepalanya hampir menyentuh tanah, hanya demi agar gentong airnya tidak tumpah. Dia pun berusaha mengatasi kelelahannya dengan mengajak Janu berbicara.
"Kak, bagaimana tadi ujian pertamamu? Kenapa tadi agak lama?"
"Hey, kau masih kuat berbicara rupanya. Ujianku tadi cukup membingungkan juga, hampir saja aku tidak dapat gelang. Untung aku tado berhasil merampas gelang dari seorang anak. Kalau kupikir pikir, kasihan juga dia."
"Oh iya! Kenapa muka dan pakaianmu seperti itu? Tadi aku mau bertanya tapi tidak sempat." Tanya Janu balik.
"Ini kak, awalnya aku sial. Gelangku dicuri orang saat kita mau masuk ke dalam hutan bambu. Untung saja kesialanku cuma sampai disitu, selebihnya untung. Aku menemukan gelang pasangannya sesaat setelah aku masuk ke dalam hutan."
Mereka berdua terus mengobrol sampai lupa bahwa mereka masih berada di tahap ujian kedua. Sementara anak anak yang lain juga berusaha menahan kuda kuda mereka dengan cara masing masing.
Tak terasa keduanya mengobrol, dupa kedua pun akhirnya habis. Suara berat yang membahana terdengar dengan kencang untuk ketiga kalinya.
"Ujian tahap kedua selesai! Lima ratus dua puluh lima anak lolos! Mulai ujian tahap ketiga sekarang!"
Setelah suara itu menghilang lagi, Suli pun memerintahkan anak anak yang lolos untuk meletakkan kembali gentong gentong air itu. Sambil membiarkan anak anak itu beristirahat di rumput, dia pun menyuruh beberapa murid lain membawa gentong gentong air itu ke pondok.
Tidak beberapa lama, para murid itu kembali sambil membawa beberapa batu besar berwarna hitam. Batu itu teksturnya mulus dan padat. Tidak ada rongga apapun yang menjadi kecacatan dari batu tersebut. Apabila terkena cahaya matahari maka akan memantul dan menimbulkan efek menyilaukan. Ada sedikit perasaan aneh saat anak anak itu melihat batu tersebut, seperti ada sebuah kekuatan dahsyat tersimpan di dalamnya.
"Baiklah! Kalian berkelompoklah dua puluh anak, dan masing masing kelompok berkumpul di dekat satu murid perguruan. Cepat!" Perintah Suli. Anak anak itu pun seperti dicocok hidungnya menurut saja dan berkelompok dengan teratur.
"Yang dibawa oleh para murid Perguruan Pinus Angin adalah batu bakat. Kalian tempelkan telapak tangan kalian ke permukaan batu tersebut secara bergiliran. Kalian dianggap lolos kalau muncul satu fenomena yang menunjukkan bakat kalian. Sekarang, dimulai!"
KAMU SEDANG MEMBACA
JANU : Tahap Awal
FantasíaKisah seorang anak manusia yang berusaha bertahan hidup dan menjadi kuat ditengah pertempuran dua kubu. Dengan berlatar belakang jaman kerajaan Mataram hindu, sang anak berusaha menjadi seorang pendekar yang membantu menciptakan kedamaian di kerajaa...