Beberapa hari setelah penyerangan ke sarang perampok Tanduk Api, Janu dan kawan kawan berpisah dengan Suli. Mereka kembali ke Perguruan Pinus Angin, sementara Suli masih melanjutkan tugasnya. Sebelumnya, para tawanan sudah dikembalikan ke desa masing masing oleh para prajurit Lasem.
"Kalau kalian mendapat tugas semacam ini lagi, butuh dua kali lagi agar nilainya bisa ditukar dengan ramuan mantra ilusi. Aku jamin ramuan itu akan sangat berguna bagi kalian." Saran Suli saat mereka hendak balik ke perguruan.
"Ramuan mantra ilusi? Apa itu kak?" Tanya Malya penasaran.
"Itu adalah semacam ramuan mujarab untuk melancarkan kemampuan berpikir kita. Ramuan itu sangat penting apabila kalian menginginkan sebuah pencerahan. Tapi ingat! Ramuan itu hanya boleh diminum sekali saja."
"Hmm, baik kak! Sekarang kami balik dulu, selamat tinggal kak Suli! Sampia jumpa nanti di perguruan."
Tujuh orang lelaki dan dua perempuan berjalan kembali menuju ke perguruan. Mereka adalah rombongan Janu dan beberapa murid lain yang sudha menyelesaikan tugas mereka. Sementara itu sisanya tetap tinggak di Lasem untuk mendapat informasi tugas selanjutnya.
Sore hari di sebuah rumah makan, seorang lelaki bertubuh gempal duduk di kursi panjang. Di hadapannya, beberapa lelaki dan perempuan berdiri menyender di dinding. Wajah mereka semua tegang, mulut mereka tertutup membisu, mereka tengah menunggu sesuatu.
Sebelum matahari terbenam, akhirnya yang mereka tunggu pun tiba. Seorang prajurit datang membawa sebuah gulungan, lalu menghadap kepada si lelaki bertubuh gempal.
"Maaf tuan pendekar, saya sedikit terlambat. Tadi ada sedikit masalah di perjalanan."
Prajurit itu segera menyerahkan gulungan itu kepada si lelaki gempal. Dibukanya gulungan itu, lalu dibaca perlahan. Beberapa saat, tanpa ekspresi, si lelaki gempal kembali menutup gulungan itu, lalu menatap orang orang yang berdiri mengerumuninya.
"Saatnya kini sudah tiba, kita berangkat sekarang!" Perintahnya.
"Kak Suli, aku minta kalian berhati hati. Kami berjaga di belakang kalian kalau nanti terjadi sesuatu." Seorang lelaki menahan si lelaki gempal sebentar. Suli pun hanya mengangguk.
Suli dan rombongannya kemudian bergegas mengikuti si prajurit menuju ke luar kadipaten. Mereka terus berjalan ke selatan, hingga tiba di sebuah lembah.
Di dalam lembah sudah berkumpul banyak prajurit Mataram, mereka berkumpul saling mengelompok. Di tengah para prajurit yang tengah beristirahat, seorang panglima Mataram sedang duduk bersama dengan banyak pendekar dan murid perguruan lain. Mereka tengah mengadakan pertemuan.
"Selamat datang! Salam dari saya, Arya Wirabaya. Mari pendekar, silahkan ikut pembahasan kami." Sapa sang panglima kepada Suli.
"Suli! Duduk sini di sampingku!" Seorang lelaki mengajaknya bergabung.
"Salam tuan panglima! Saya Suli dari Perguruan Pinus Angin. Maafkan keterlambatan kami kemari, kami baru saja menyelesaikan tugas di Lasem." Sambil duduk, Suli menyapa mereka. "Terima kasih kak Birawan!" Ucapnya kepada si lelaki yang mengajaknya duduk di sebelahnya.
Setelah mereka semua duduk kembali, percakapan kembali dilanjutkan.
"Begini pendekar, kami disini tengah membahas tentang informasi yang sudah kami peroleh. Sesuai pesan yang saya tulis di dalam gulungan yang saya kirim, kami mendapat informasi kalau para penganut ilmu hitam saat ini tengah melakukan semacam ritual yang aneh. Mereka membakar banyak sekali mayat yang ditumpuk di hutan Trangil, sementara seorang tetua terus menari nari di depan peti yang dicuri dari Desa Telang."
"Saya menduga bahwa mereka tengah mengadakan upacara mmebangkitkan apa yang ada di dalam peti itu." Jelas sang panglima.
"Lalu, mengapa kalian tidak segera bertindak?" Tanya Suli seketika.
"Kami sudah beberapa kali menyerang mereka tuan, namun semuanya gagal. Para pengikut ilmu hitam itu memiliki kemampuan yang cukup mumpuni. Mereka bisa menandingi kekuatan kami dan para pendekar yang sudah hadir disini sejak kemarin kemarin."
"Benar itu apa yang dikatakan Patih Arya Wirabaya. Jumlah kita yang kemarin masih sedikit sehingga mampu ditahan oleh mereka." Tambah Birawan.
"Lalu sekarang apa rencana kalian?"
"Tadi kami sudah membahas sebentar. Kami akan mengikuti saran dari pendekar Gumelang dari Sunda."
"Saran apa?"
"Kami tadi sepakat untuk mengikuti usul untuk membakar seluruh hutan Trangil menjadi abu. Dengan demikian, para penganut ilmu hitam tidak bisa melanjutkan kembali ritual mereka."
"Mungkin cara ini agak sedikit kotor, namun demi keberhasilan kita, apa boleh buat." Tambah Birawan.
"Hmm... Setelah kalian membakar hutan, lantas selanjutnya bagaimana?"
"Saat fokus mereka teralihkan dengan kebakaran hutan, kita kepung mereka dan kita habisi saat mereka sedang lengah."
"Begitu ya... Mungkin ide itu sedikit naif, tapi baiklah aku ikut! Kapan kita bergerak?"
"Secepatnya lebih baik! Setelah semua persiapan selesai, nanti sore kita lancarkan taktik ini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
JANU : Tahap Awal
FantasyKisah seorang anak manusia yang berusaha bertahan hidup dan menjadi kuat ditengah pertempuran dua kubu. Dengan berlatar belakang jaman kerajaan Mataram hindu, sang anak berusaha menjadi seorang pendekar yang membantu menciptakan kedamaian di kerajaa...