Chapter 88. Mamrati

371 21 0
                                    

Di sebuah bukit, empat orang remaja tengah berkumpul membakar daging kelinci. Aroma sedap dari daging bakar merebak menyebar ke segala penjuru. Beberapa hewan liar pun tertarik dengan aroma itu, namun tidak berani mendekat.

Dengan lahap keempat orang itu kemudian memakan daging tersebut. Mereka makan seakan tidak memerdulikan sekitar yang berusaha untuk mencuri sisa daging di atas daun.

"Rangin, bebatuan wesi ireng yang kita dapat ternyata tidak seperti apa yang kita bayangkan. Aku kira besar, ternyata hanya sebesar itu." Ujar Janu sambil mengunyah makanan.

"Huft, kita salah kira. Sebenarnya aku ingin membuat sebuah golok dari batu ini. Tapi kalau bebatuan itu kecil kecil seperti ini ya tidak jadi." Desah Rangin.

"Lalu, kau mau membuat apa?"

"Mungkin kau bisa membuat semacam senjata kecil seperti Vajra Lothi milik kak Rakawan!" Ledek Malya.

"Tidak mau! Pantang bagiku membuat senjata semacam itu." Tolak Rangin mentah mentah.

"Ahahaha... Lalu kau mau membuat apa nanti?" Lanjut Malya.

"Entahlah."

"Kak, mungkinkah kalau batu itu nanti dibuat kalung atau gelang?" Cerocos Wulung.

"Ukurannya masih terlalu kecil untuk dibuat gelang. Apalagi mirip seperti senjata para pandita. Tidak tidak!"

"Ah! Aku ada ide. Bagaimana kalau kau buat cincin saja. Mungkin cocok!" Saran Janu.

Sambil melihat ke lima jarinya, Rangin berpikir.

"Hmm, boleh dicoba. Aku malah ingin membuat sepuluh buah cincin sekalian." Rangin sedikit menyukai ide Janu.

Beberapa hari sudah keempat remaja itu meninggalkan Desa Cening. Mereka berjalan menuju ke wilayah timur mendekati Gunung Sumbing. Setelah melintasi Gunung Sumbing, mereka akan tiba di daerah Mamrati yang padat penduduknya.

Keempatnya melintasi areal persawahan dan kebun penduduk yang menghampar di kaki gunung. Wilayah itu tampak subur dengan pemandangan hijau sawah yang baru tumbuh.

Beberapa hari empat remaja itu menginap di Mamrati. Disana mereka mencoba menikmati segala macam makanan yang ada. 

Karena selama ini mereka kebanyakan hanya makan buah buahan dan daging bakar saja, melihat berbagai jajanan yang disuguhkan membuat air liur mereka menetes. Mereka sering pergi berpencar untuk mencari kesenangan masing masing.

Selain bersenang senang dengan aneka makanan yang ada, disana mereka juga berjumpa dengan berbagai macam pendekar. Ada yang merupakan pendekar asli Mamrati, ada pula yang berasal dari Galuh, Blambangan, bahkan dari Sriwijaya di seberang lautan.

Keempat remaja itu berkenalan dengan banyak pendekar yang tangguh.

Ada seorang pendekar benama Joko Buntung yang datang dari Blambangan. Seperti namanya, tangannya buntung dan cacat. Namun itu tidak mengurangi kemampuan bertarungnya. Ada pula dua orang wanita kembar yang berasal dari Perguruan Sungai Merah di wilayah Sriwijaya.

Disini Janu sendiri juga berkenalan dengan dua orang ayah dan anak yang berasal dari negeri Tiongkok. Mereka datang ke Mataram untuk mencari berbagai tanaman obat. Mereka pun sudah lancar berbahasa jawa.

Kedua ayah anak itu bernama Liu Ming dan Liu Wenjia. Mereka berdua ahli dalam ilmu pengobatan.

Selama beberapa hari Janu bersama keduanya, dia belajar banyak tentang teknik pengobatan dan segala macam tanaman obat. Dia juga diajari cara meramu tanaman obat untuk dijadikan racikan.

Salah satu pendekar yang mereka temui sempat mengajak Rangin untuk beradu tanding. Melihat tubuh Rangin yang kekar membuat pendekar itu gatal untuk bertanding.

Saat pertandingan, pendekar itu tidak mampu membendung kekuatan Rangin yang besar. Dia yang hanya berada pada puncak tingkat penguatan tubuh tidak sanggup melawan Rangin yang sudah mencapai tingkat penguatan energi.

Selepas kalah, orang itu segera menyerahkan sekepeng emas. Dia lalu meminta Rangin untuk mengajarinya beberapa gerakan baru.

Disini karena mereka sesama penganut ilmu putih, maka Rangin pun bersedia memberikan sedikit ilmunya. Pendekar itu sangat senang menerima ilmu baru dari Rangin.

JANU : Tahap AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang