Chapter 97. Pegunungan Sewu

356 20 0
                                    

Pagi hari, setelah Janu berpamitan dengan Tumenggung Amuk Kumbara, mereka berjalan menuju ke timur. Disana mereka hendak mencari pohon walikukun yang kabarnya berada di wilayah Pegunungan Sewu.

Perjalanan mereka harus menyeberangi sungai besar dimana di sebelah utara terdapat batu ketumbar, lalu melewati jalan setapak, menembus hutan.

Mereka menyeberangi sungai menggunakan teknik pergerakan lanjutan. Bagai seekor bangau, tubuh mereka seakan melayang menapaki air sungai. Memasuki tahap penguatan energi, tubuh mereka bisa dikendalikan sedemikian rupa.

Semakin keempatnya melakukan pertarungan, semakin banyak pengalaman, semakin murni pula energi yang mampu mereka serap. Hal ini membuat pondasi energi di dalam tubuh menjadi semakin kokoh.

Janu yang menggunakan ilmu meditasi seni permulaan hampa mendapat keuntungan paling besar hal ini. Ilmu yang dia pelajari menitik beratkan pada teknik dasar, sehingga membuatnya memiliki energi paling besar diantara para pendekar lainnya.

Sambil dalam proses penyembuhan diri, keempatnya berjalan melewati hutan, lembah, dan pedesaan di timur. Luka bekas pertempuran di Desa Telang masih segar di sekujur tubuh. Hanya Wulung yang sudah sembuh, hanya kelelahan yang amat sangat setelah energinya terkuras.

Beberapa kali mereka sengaja berhenti untuk istirahat. Tampak tenaga mereka belum pulih sepenuhnya.

Setelah beberapa hari selanjutnya, barulah keempat remaja itu sampai di Pegunungan Sewu.

Di sebelah utara ada Gunung Lawu yang menjulang tinggi. Di barat, Gunung Merapi dan Merbabu sudah tidak tampak tertutup awan. 

Melihat ke arah timur jauh, areal pegunungan kapur dan hutan rimba kuno yang luas terbentang memanjakan mata. Di selatan, tebing curam langsung mengarah ke laut selatan.

Memasuki wilayah hutan di Pegunungan Sewu, mereka menjumpai bebatuan kapur berwarna putih. Pepohonan rimbun serta semak belukar menjadi lautan rintangan yang harus dihadapi.

Malam hari, mereka beristirahat di bawah pohon beringin raksasa yang menjulang ke angkasa. Setelah sore harinya mereka memetik banyak buah, malam itu mereka makan dengan lahap. Seperti biasa, meditasi dan konsentrasi menjadi makanan sehari hari.

Malam itu bulan sama sekali tidak menampakkkan diri, tertutup oleh awan tebal yang menggulung. Dari balik pepohonan ada sepasang mata mengintai. Sekejab, aura membunuh muncul dari balik pepohonan di atas keempat remaja yang sedang bermeditasi.

'Woosh! Sreeet!'

Sekelebat bayangan hitam melesat dari balik pepohonan. Bayangan hitam itu melesat ke angkasa, lalu menukik tajam ke arah keempatnya.

Satu sosok makhluk hitam dengan cepat mencengkeram bahu Wulung yang berada agak jauh dari ketiganya. Sosok itu lalu membawa remaja itu terbang ke angkasa.

Disini keempatnya terlambat sadar. Wulung yang tengah bermeditasi juga terlambat menyadari akan adanya bahaya. Dia tertangkap oleh makhluk itu, lalu dibawa terbang menuju ke suatu tempat.

Janu melihat semua kejadian itu, namun tidak sempat untuk berbuat apapun. Dia hanya melongo melihat rekannya dibawa oleh sosok makhluk hitam itu.

"Apa apaan itu tadi?"

Ketiga rekan Wulung baru sadar dari rasa kagetnya kemudian. Mereka langsung berinisiatif untuk mengejar kemana arah perginya sosok hitam tersebut.

Ketiga remaja dengan kemampuan pergerakan ringan masing masing melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Gerakan itu walau menguras energi, namun harus dilakukan. Hal itu agar mereka bisa melihat kemana arah sosok itu terbang.

"Makhluk apa itu? Besar sekali!" Gumam Malya.

"Kalau dari jauh terlihat seperti seekor kelelawar raksasa. Kalau benar itu kelelawar raksasa, pasti dia akan membawa Wulung ke sarangnya. Biasanya sarang kelelawar adalah di lereng dan gua."

"Aih! Aku tidak suka bau kelelawar. Menjijikkan!" Pekik Malya.

"Huh! Anggap saja itu sebagai bau tahi ayam di kandang ayam lembah sumber. Kita kan sering mencium bau itu saat bertugas di peternakan." Ucap Rangin santai. Dia seperti tidak begitu khawatir dengan Wulung.

"Hoek! Membayangkannya saja bikin mau muntah!" Gerutu Malya.

"Santai saja tuan putri, kalau Wulung dibawa ke dalam gua, kau berjaga saja di luar." Ledek Rangin.

"Siapa yang tuan putri?" Ujar Malya geram.

Tiga remaja itu terus mengejar sang kelelawar raksasa hingga tiba di suatu tebing yang curam.

JANU : Tahap AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang