Chapter 64. Empat Tahun Berlalu

394 22 0
                                    

Empat tahun berlalu, Janu dan kawan kawannya kini sudah menjadi remaja seutuhnya.

Janu sudah genap berusia tujuh belas tahun. Tubuhnya masih tetap kurus, kulitnya agak kuning langsat. Garis mukanya mulai menonjolkan ketampanan, dengan alis menghitam tegas. Rambutnya yang semula panjang kini sudah terpotong sampai atas bahu, terurai dengan bebas. Dia tampak flamboyan, tampan, dan ceria.

Wulung, anak yang pemalu itu pun kini sudah berusia lima belas tahun. Dia kini tumbuh menjadi remaja yang penuh semangat, walau masih tetap naif. Tubuhnya masih saja tetap yang paling kecil diantara kawan sebayanya. Dengan kulit yang bersih da sehat, serta wajahnya yang polos, membuatnya tampak masih seperti anak kecil. Rambutnya yang panjang tergerai, dihiasi ikatan kepala berwarna merah.

Sementara itu, keanehan juga muncul pada diri Rangin. Di tengah usianya yang menginjak tujuh belas tahun, dia sudah mengalami kebotakan. Keanehan itu sangat tragis, dia botak karena dua tahun lalu dia pernah menantang Malya berkelahi. Saat mereka bertarung, Malya menggunakan senjata mistis yang dipinjamkan kepadanya, membakar separuh rambut Rangin menjadi hangus.

Sejak saat itu, rambutnya tidak pernah tumbuh lagi. Makanya, Rangin menggunduli saja rambutnya itu sampai habis. Dia kini mengalami trauma dan malu menghadapi Malya apabila mengingat kejadian tersebut.

Sementara itu Malya sendiri kini telah tumbuh menjadi gadis yang lebih tenang. Dia yang dahulunya terkenal dengan tingkah polahnya yang nakal, kini sudah lebih kalem. Yang tidak berubah dari dirinya adalah cara bicaranya yang masih ceplas ceplos dan berani.

Gadis itu kini semakin menunjukan kecantikan yang alami dan bersemi. Kulit kuning langsat dan tubuh yang ramping menjadi pelengkap dari kecantikannya. Bersama dengan rambut hitam panjang yang lurus sepunggung, dikepang untuk memudahkan pergerakan.

Selama empat tahun keempat remaja itu telah tumbuh baik secara raga maupun pemikiran. Kekuatan mereka pun juga semakin bertambah. Mereka terus berlatih dan bermeditasi tanpa henti.

Rutinitas mereka buat secara teratur. Pagi berlatih jurus dan teknik, sesekali dilanjutkan dengan saling bertanding. Agak siang, Malya kembali ke rumahnya, sementara tiga remaja lelaki itu mencari kayu bakar di hutan. Sore hari diisi dengan pelatihan lagi. Menjelang malam mereka mengambil jatah makanan di lembah sumber. Sisa waktu dilanjutkan dengan meditasi.

Selama empat tahun itu, rahasia Janu dan kedua rekannya ditutup rapat. Selain karena mereka tidak ingin ada orang lain yang tahu, juga karena mereka mendapati bahwa gua yang mereka temukan itu telah tertutup oleh longsor. Saat ketiganya kembali ke gua tersebut, gua itu sudah tidak ada, tertutup oleh bebatuan besar.

Setelah berendam di dalam mata air misterius, kini kemampuan penyerapan kekuatan Janu menjadi semakin cepat. Dia kini sudah mencapai puncak tahap ke delapan, tahap memperkuat organ dalam. 

Di tahap ini tubuh menjadi semakin kebal dari penyakit dan racun. Sementara itu organ dalam tubuh menjadi semakin kuat dan memiliki daya tahan tinggi.

Selain Janu, Wulung dan Rangin pun juga telah lebih dahulu mencapai tahap yang sama. Kini ketiganya mampu menyeimbangi kemampuan Malya yang sudah mencapai tahap itu lebih awal. Karena kecepatan dalam meningkatkan kekuatan, ketiganya bersama dengan Malya masuk ke daftar murid murid berbakat Perguruan Pinus Angin.

Mereka kini tinggal menunggu waktu yang tepat dan kesempatan yang baik untuk bisa mencapai tingkat selanjutnya, tingkat penguatan energi. Mereka terus bermeditasi, mencoba merasakan energi yang ada di alam semesta.

Di lain tempat, di puncak gunung, lima orang pertapa tengah berkumpul di sebuah pendopo. Mereka sedang membahas sesuatu hal yang kiranya cukup penting.

Seorang lelaki paruh baya dengan wajah tenang dan berwibawa memimpin perkumpulan tersebut. Di sekelilingnya, dua orang lelaki tua muda dan dua orang wanita berumur duduk bersila menghadap sang pemimpin.

"Terimakasih para sesepuh karena sudah mau menyempatkan diri datang kemari." Ujar si pemimpin.

"Itu sudah menjadi kewajiban kami sebagai sesepuh perguruan ini." Suara yang lembut muncul dari mulut seorang wanita berpakaian serba putih.

"Hei Sadhana, cepat katakan, kenapa kau mengumpulkan kami kemari?" Ucap seorang lelaki tua ketus.

"Hahaha... Seperti biasa, kau memang tidak sabaran Ekadanta." Cicit lelaki muda di sebelahnya.

"Huh, buang buang waktu saja!" 

JANU : Tahap AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang