PS: Ini chapter terakhir, novel karangan selanjutnya adalah Totem. Untuk Janu 2, dilanjutkan kemungkinan setelah Totem selesai. Terimakasih.....
Para pendekar sakti mandraguna bertempur dengan si raksasa Kurupa. Mereka melakukan pertempuran dengan berbagai serangan yang luar biasa kuat dan dalam jangkauan yang luas. Beberapa hari mereka bertempur, menyebabkan wilayah itu menjadi hancur. Badai angin, gempa bumi, gunung meletus, bahkan sungai pun meluap menyebabkan banjir bandang ke segala penjuru. Tanah di hutan Trangil sudah tidak berbentuk, rusak dan gersang, tidak ada tanda kehidupan di atasnya.
Selama lima hari bertempur, Kurupa mulai terdesak. Dia yang hanya seorang diri akhirnya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pendekar yang bersatu. Kurupa kemudian melarikan diri dengan menghilang dibalik udara hampa. Para pendekar tidak mampu melacak keberadaannya, aura dan jejaknya semua hilang seketika.
"Aaarrgghh! Kurang ajar si Kurupa itu! Kita tidak boleh membiarkannya lolos begitu saja, kuta harus mencarinya sampai ketemu!" Ki Ekadanta marah mengetahui Kurupa hilang di depan mata.
"Kalian semua tidak usah menanggung beban ini. Aku sebagai orang yang menjadi saksi pertempuran ratusan tahun lalu, dan orang yang memimpin pertempuran kali ini, akan berusaha mencarinya kemanapun dia bersembunyi." Sumpah kakek Lokapati.
Mendengar ucapan kakek Lokapati, semua pendekar yang tersisa pun menghela nafas panjang. Mereka lantas membungkuk memberi hormat kepada sang pertapa. Sumpah kakek Lokapati terasa sangat berat, dia harus meninggalkan semua yang dicintainya hanya demi mengejar sang iblis. Ki Ekadanta hendak berucap, namun serasa tertahan. Beberapa pemimpin perguruan yang lain menatap kakek Lokapati, memberi semangat dalam diam.
Para pendekar sakti mandraguna itu kemudian terbang berpencar ke segala arah, kembali ke tempat mereka berasal, meninggalkan hutan Trangil yang sudah tidak berbentuk.
Hutan Trangil menjadi saksi bisu kengerian dan kehancuran dari pertempuran antar pendekar. Dalam pertempuran itu, para penganut ilmu hitam, penganut ilmu putih, dan prajurit Mataram, semua tewas tanpa bekas. Hanya tersisa tanah gersang yang sangat luas sepanjang mata memandang. Mungkin butuh bertahun tahun agar tanah itu kembali subur.
Satu tahun berlalu sejak Janu kembali ke perguruan. Di dalam perguruan, tepatnya di Giriloka, empat pemuda berdiri tegap menghadap ke depan. Di hadapan mereka, seorang lelaki paruh baya duduk bersila di balai pendopo Giriloka. Di sekitar mereka, juga berdiri beberapa orang memandang ke arah mereka.
"Janu! Keluarkan kemampuanmu!" Teriak si lelaki paruh baya.
Janu membungkuk, dia memberi hormat. Kemudian dengan mengambil kuda kuda, dia berkonsentrasi penuh. Muncul aura yang terasa kuat keluar dari tubuhnya, menyebar ke segala arah.
Kemunculan aura itu membuat pepohonan dan rerumputan bergoyang. Seketika, rumput rumput dan semak belukar di sekitar Janu berubah. Rerumputan hijau itu berkilau, sisi sisinya berubah menjadi sangat tajam setajam pedang. Tampak hidup dan mampu bergerak bebas, rerumputan itu bergoyang seperti ribuan pedang yang diayunkan ke arah musuh.
"Cukup! Sekarang giliran Wulung!" Ucap sang lelaki paruh baya.
Bertahap mulai dari Janu yang memperlihatkan aura berupa rerumputan dan pepohonan yang berubah menjadi pedang yang menyerang musuh, hingga Wulung yang mengeluarkan kabut tebal berwarna merah pekat yang menutupi jarak pandang. Di dalam wilayah aura milik Wulung, dia bisa menyerap saripati kehidupan setiap makhluk yang bernyawa.
Selanjutnya giliran Malya yang mengeluarkan aura yang mengerikan. Dia membuat sebuah badai kecil yang apabila dilihat dari atas tampak seperti bunga yang sedang mekar. Dari dalam pusaran badai itu, ada kilatan cahaya kuning yang mengalir dengan lincah melewati berbagai hantaran.
Terakhir adalah Rangin yang mengeluarkan aura yang menyilaukan. Tanah dan benda di sekitarnya berubah menjadi emas, sementara dari udara hampa muncul bola bola cahaya yang sangat terang. Apabila bola bola cahaya itu terkena sesuatu, maka benda itu akan hancur berkeping keping. Di dalam auranya, Rangin bisa bergerak bebas, bahkan masuk ke dalam tanah sekalipun.
"Baiklah! Sekarang jawab pertanyaanku!" Tegas si lelaki yang tak lain adalah Mpu Sadhana.
"Apa konsep kebenaran yang kalian pilih?"
"Jalan pedang!" Ucap Janu lantang.
"Saya memilih konsep kebenaran cahaya." Ucap Rangin mantab.
"Saya, memilih untuk mengikuti konsep darah." Ungkap Wulung pelan.
"Aku kebenaran petir!" Malya berkata sambil menatap Mpu Sadhana berani.
Beberapa saat kemudian, mereka semua terdiam membeku, tidak ada suara.
"Bagus! Kalian semua tampak yakin dengan konsep apa yang kalian pilih. Selamat aku ucapkan untuk kalian yang sudah berhasil mencapai tingkat konsep kebenaran. Karena kalian sudah menjadi murid inti perguruan sebelum mencapai tingkat konsep kebenaran, aku tidak akan memberi kalian apapun lagi!"
"Sekarang kalian bebas mau pergi kemanapun! Kalian boleh memilih untuk tetap disini, atau berkelana kemanapun kalian mau. Yang pasti, jangan cemarkan nama baik Perguruan Pinus Angin. Dimanapun kalian berada, kalian adalah murid inti perguruan ini!"
"Terakhir! Aku ucapkan selamat datang kalian para pemberontak takdir!"
![](https://img.wattpad.com/cover/182581631-288-k567062.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
JANU : Tahap Awal
FantasyKisah seorang anak manusia yang berusaha bertahan hidup dan menjadi kuat ditengah pertempuran dua kubu. Dengan berlatar belakang jaman kerajaan Mataram hindu, sang anak berusaha menjadi seorang pendekar yang membantu menciptakan kedamaian di kerajaa...