Keesokan paginya keempat murid Perguruan Pinus Angin itu segera bergegas berjalan keluar perguruan, menuju ke tempat yang dimaksud. Mereka sudah mengetahui dimana letak Perguruan Pedang Emas berada dari peta dan catatan yang ada di pusat kitab.
Kalau berdasarkan peta, ada dua perguruan yang paling dekat dengan Perguruan Pinus Angin. Keduanya adalah Padepokan Gunung Hitam dan Perguruan Pedang Emas.
Padepokan Gunung Hitam berada di atas sebuah gunung yang memiliki puncak berwarna hitam. Puncak gunung itu berwarna hitam akibat erupsi lahar yang membakar habis seluruh tanaman disana, sehingga tanah menjadi hangus dan menghitam.
Lokasi Perguruan Pedang Emas sendiri terletak di bibir pantai utara pulau Jawa. Penghalang antara perguruan itu dengan rasa keingintahuan manusia adalah berupa rawa rawa dan hutan bakau yang lebat. Rawa rawa itu juga menjadi penanda kalau seseorang sudah berada di wilayah Perguruan Pedang Emas.
Jarak antara Perguruan Pedang Emas dan Perguruan Pinus Angin hanyalah sekitar sebelas hari berjalan kaki. Sepanjang perjalanan dilalui dengan mulus dan hampir tak ada hambatan.
Selama di perjalanan, tak disangka Rangin dan Malya akhirnya berhasil merasakan sebuah energi alam dan menggunakan kesempatan itu untuk menembus ke tingkat kedua. Mereka pun berhasil mencapai tingkat penguatan energi.
Masuk ke daerah rawa dan hutan bakau, keempatnya mencari tanda arah menuju ke dalam perguruan. Disana, di hutan bakau yang tampak tak terjamah, mereka menemukan sebuah tanda. Tanda itu berupa batangan bambu yang ditancapkan di atas rawa. Di sisi batangan bambu itu menancap tiga buah pedang emas, lambang Perguruan Pedang Emas.
Keempat remaja berlalu, melewati tanda tersebut. Beberapa saat kemudian tibalah mereka di ujung pantai berpasir hitam. Disana, terlihat rumah rumah panggung dari kayu berjejer rapi di tepi pantai. Di sekitar rumah, banyak orang melakukan kegiatan, seperti bermeditasi, berlatih jurus, hingga kegiatan manusia biasa seperti memancing dan membuat perahu.
Seorang dari mereka melihat kedatangan keempatnya. Didekatinya empat remaja yang batu tiba itu.
"Salam saudaraku. Aku Nilman, kalau boleh tahu kalian siapa?" Sapa orang tersebut.
"Salam. Aku Janu, ini Rangin, dibelakangnya Wulung dan Malya. Kami berasal dari Perguruan Pinus Angin. Kalau boleh tahu, apa benar disini lokasi Perguruan Pedang Emas?"
"Benar, disini adalah lokasi Perguruan Pedang Emas. Kalau boleh tahu, ada apa gerangan kalian datang kemari?"
"Kami kemari diutus untuk mengirim undangan kepada Mpu Marhantika. Kalau boleh kami minta bantuannya kepada kak Nilman untuk menyerahkan undangan ini kepada Mpu Marhantika." Pinta Janu sambil mengeluarkan gulungan undangan.
"Hmm... Baiklah. Kalian tunggu saja disini, aku akan menjumpai guru yang berwenang dahulu."
"Terimakasih kak Nilman." Janu memberi hormat. Mereka lantas mencari tempat beristirahat sementara Nilman berlalu.
Agak lama mereka menunggu, dari arah lautan muncul tiga orang menemui keempatnya. Salah satu diantaranya adalah Nilman yang mereka mintai bantuan. Para murid yang melihat ketiganya segera membungkuk memberi hormat.
Seorang lelaki tua yang masih kekar dan berotot melayang di depan. Di punggungnya tergelantung sebuah pedang besar berbentuk seperti taring raksasa, membuatnya kelihatan gahar dan liar. Di belakangnya, Nilman dipegang lengannya oleh seorang lelaki paruh baya yang juga kelihatan kekar. Sebuah sangkur terselip di pinggang sang lelaki paruh baya.
Si lelaki tua terbang menghampiri keempat remaja itu, lalu berhenti tepat dihadapan mereka. Empat murid Perguruan Pinus Angin itu tampak canggung. Mereka langsung berdiri dan membungkuk hormat.
"Salam anak muda! Aku Mpu Marhantika. Ada perlu apa kalian mencariku?" Suara nyaring keluar dari mulut lelaki tua.
"Salam Mpu! Kami adalah murid Perguruan Pinus Angin. Kami kemari diutus oleh Mpu Sadhana untuk mengantarkan undangan kepada Mpu Marhantika." Terang Janu. Dia lantas menyerahkan gulungan yang dibawanya kepada sang lelaki tua.
"Perguruan Pinus Angin ya. Hmm... ya ya. Aku mengenal pakaian kalian." Mpu Marhantika menerima gulungan itu dari tangan Janu.
"Bagaimana kabar si Sadhana? Oh iya, apakah Ekadanta masih sering menggerutu?"
"Tuan guru semua masih sehat dan baik baik saja."
Setelah mengenalkan si lelaki paruh baya, sang lelaki tua lantas membuka gulungan pesan dari Mpu Sadhana. Keningnya mengernyit setelah membaca pesan dari Mpu Sadhana. Wajahnya tampak serius, dia mengangguk.
"Baiklah, aku terima undangan ini. Kalian beristirahatlah dulu disini."
Setelah itu sang lelaki tua terbang lagi menuju ke arah lautan.
"Nilman! Tolong kau antar keempat tamu ini beristirahat. Aku baru saja mendapat perintah dari guru besar untuk menjamu mereka. Lalu nanti ikutkan mereka ke dalam pertandingan. Atur pertandingan mereka di akhir, melawan para juara dari perguruan kita." Perintah sang lelaki paruh baya sambil terbang menjauh.
"Baik guru!"
Nilman memberi hormat, diikuti oleh Janu dan rekan rekannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JANU : Tahap Awal
FantasíaKisah seorang anak manusia yang berusaha bertahan hidup dan menjadi kuat ditengah pertempuran dua kubu. Dengan berlatar belakang jaman kerajaan Mataram hindu, sang anak berusaha menjadi seorang pendekar yang membantu menciptakan kedamaian di kerajaa...