Chapter 5. Perdebatan

722 29 0
                                    

Gerobak kuda terus melaju kencang menuruni bukit hingga bertemu dengan sebuah jalan setapak. Jalan itu adalah salah satu jalur utama yang mengarah ke wilayah dalam Kademangan Janti. Disana terdapat pusat pemukiman warga dan pusat pemerintahan Kademangan Janti, sebuah kademangan yang dipimpin okeh seorang demang yang sangat adil bernama Demang Yasa.

Didalam sebuah rumah yang tampak paling besar di Kademangan Janti, tiga orang lelaki tergeletak di atas sebuah tikar bambu. Tubuh mereka penuh luka, baik itu luka tusukan, sayatan, maupun lebam. Dua orang dari mereka sudah tak bernyawa lagi, sementara satunya sudah berada di ujung nafas.

Di sekeliling tiga orang itu, beberapa orang lainnya menunjukkan ekspresi yang berbeda beda. Ada yang menerawang, serius, marah, sedih, cemberut, ada pula yang kelihatan bingung. Walau begitu, orang orang itu memiliki satu pertanyaan yang sama di benak mereka, mengapa gerombolan perampok Tanduk Api berani melakukan aksi penjarahan sampai ke Kademangan Janti.

Seorang lelaki paruh baya yang masih tampak gagah dengan kumis tipis duduk serius di depan ketiga lelaki yabg terbaring itu. Tangannya bersedekap, kepalanya tertunduk, dan raut wajahnya tegang. Tampak sekali bahwa lelaki itu sedang berpikir keras.

Di belakangnya, berdiri seorang wanita paruh baya berwajah lembut, berusaha membuatnya rileks dengan memijit pundaknya. Sementara itu beberapa orang di sekelilingnya diam seribu bahasa, mereka tidak berani mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran mereka sebelum sang lelaki tersebut berbicara.

Seorang lelaki muda tidak sabaran hendak berbicara sebelum tiba tiba disenggol oleh lelaki tua di sebelahnya. Mata rekannya itu berkedip mengisyaratkan untuk diam dahulu. Beberapa orang lainnya tidak berani membuka mulut, bahkan bernafas pun mereka atur sepelan mungkin agar tak terdengar.

Ketegangan dan keheningan itu pecah saat lelaki yang terbaring di tikar bambu bersusah payah mencoba bersuara.

"Tu-tuan demang, sekali lagi saya minta tolong..." Kalimatnya terbata bata, "Selamat-kanlah desa... kami."

Lelaki itu kemudian menghembuskan nafas terakhirnya setelah bersusah payah berucap. Di sebelahnya sang demang tertunduk dan mengangguk. Sebuah rasa yang amat sakit menghujam dadanya, sebutir air mata mengalir.

"Selama nyawa Demang Yasa ini masih menancap di dada, aku akan menghentikan kejahatan yang telah melukai Kademangan Janti! Itu janjiku." Sambil berucap, sang lelaki paruh baya menatap jasad yang sudah terbujur kaku dihadapannya.

Tampak dari siratan mata sang demang menunjukan tekad yang bulat dan amarah yang tak terbendung. Tangannya mengepal kencang, tak sadar kukunya menancap menembus kukit. Darah segar menyembul dari kulit yang terkoyak.

"Sesepuh sekalian, kalian sudah mendengar sendiri informasi tadi. Kalian juga telah melihat bagaimana tiga buah nyawa terbuang dihadapan kalian. Belum lagi entah berapa nyawa yang kita masih belum tahu. Para gerombolan perampok Tanduk Api yang selama ini terkenal di wilayah Kademangan Gunung Rahastra kini sudah berani menyerang hingga ke Janti. Sekarang saya akan meminta bagaimana pendapat para sesepuh dan mantri sekalian." Ucap Demang Yasa sambil menatap masing masing orang di dalam ruangan.

Lelaki muda yang sedari tadi sudah ingin bicara segera membuka mulut, "Tuan demang, apa yang dilakukan gerombolan Tanduk Api sudah sangat melebihi batas. Di wilayah Gunung Rahastra sendiri kabarnya banyak dukuh dan desa yang bahkan sampai diungsikan karena banyak warga yang tewas. Kalau gerombolan ini sudah berani melakukan kekacauan disini, maka saya takut wilayah Janti ini nantinya akan semakin banyak terjadi pertumpahan darah."

"Oleh sebab itu, saya Joko Seno, siap apabila diutus untuk membasmi gerombolan tersebut." Lanjutnya.

"Jangan gegabah dulu anak muda, sebentar. Tuan demang, maaf kalau saya lancang. Apa tidak lebih baik kalau kita pikirkan dahulu rencana yang lebih matang dan cari informasi lebih dalam tentang seberapa kuat gerombolan ini." Ujar salah satu sesepuh desa.

Seorang lelaki bertubuh kekar menyela, "Apa yang disampaikan Ki Nambi barusan ada benarnya juga, kita tidak boleh gegabah. Namun situasi disini sudah temasuk gawat, dua desa di perbatasan Janti sudah menjadi korban. Sampai kapan lagi kita harus menunggu? Apa harus ada korban jiwa lagi sebelum kita sadar kalau ini sudah melebihi batas?!"

"Darwis, jangan gegabah. Ingat! Demang Dhanacitra dari Gunung Rahastra saja kewalahan mencari dan melawan gerombolan itu! Apalagi disini kita tidak punya banyak informasi tentang kekuatan mereka. Yang kita tau hanya nama dan ciri ciri para pentolan mereka, namun kita buta akan kekuatan mereka."

"Maaf Ki Nambi, saya rasa kekuatan kita tidak kalah hebat dari mereka. Seberapa besar kekuatan sebuah gerombolan perampok dibanding kita yang pernah belajar ilmu tenaga dalam." Sahut Joko Seno kembali.

Ki Nambi ingin kembali berkomentar saat seorang warga tiba tiba berlari masuk ke dalam ruangan. Wajahnya sedikit panik, dan nafasnya tersengal. Dia segera menghadap sang demang.

JANU : Tahap AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang