99. AKHIR YANG SEBENARNYA

492 36 3
                                    


Bukankah buah busuk karna dari pupuknya, jika pemiliknya menaburkan racun maka membusuk bukan hal yang salah.

"Berhenti mencari muka padaku!" Ucap Aro kesal yang menatap tajam pada Aldi.

"Tidakah sopan seorang anak memberi teguran seperti ini pada orang tuanya?"

"Ya! Dan itu karna ulahmu sendiri." Balas Aro tidak kalah sengit, dia menatap Aldi dengan sangat kesal.

"10 tahun lalu, iya kan. Aku tahu 10 tahun waktu yang sangat lama, jadi jangan mengingatkanku seberapa lama lagi aku membenci dirimu dad." Sambung Aro dengan melempar tas sekolahnya pada sofa ruang kerja milik Aldi pribadi.

"Berhenti membangkang, jika dady menekankan kamu menjadi pewaris keluarga dan memegang hampir semua kantor milik dady. Semuanya telah dady kembangkan untuk kelanjutan kita sendiri, apa sulitnya?"

"Dady tanya apa susahnya? Jelas susah, hampir 10 tahun ini juga dady gak mau jawab pertanyaan aku tentang om Fahri itu, dan semua itu dady lalui dengan wajah biasa saja. Bukankah harusnya dady merasa bersalah?"

Wajah Aldi diam, dia menatap Aro yang masih haus akan penjelasannya.

"Apa kamu juga mau membuat dady terlihat sangat buruk dengan menertawakan sikap bodoh dady dulu?"

"Tidak puaskah kamu menghasut adik kamu untuk menatap kebencian pada dady?" Aro tertawa hambar, dia mengambil tasnya dan membuka mengambil isi yang seharusnya dia tunjukan pada dadynya.

"Dady gak mau baca? Bukannya dady mau tahu kenapa aku lakuin ini? Buka, dan baca baik baik." Ucap Aro yang melempar satu amplop coklat.

Satu surat pernyataan kesehatan tertera di kop surat yang membuat Aldi menatap curiga pada anaknya.

"Kamu mengidap ... ?" Ucap Aldi yang masih tidak bisa mengeluarkan perkataan itu. Dia menatap anaknya dengan wajah nanar.

"Tapi, tidak mungkin. Bukankah kamu sud--"

"Sudah sembuh? Berhenti membual dad, bagaimana bisa sembuh jika keinginan aku cuma penjelasan dady, apa aku harus mengalami fase sakarat agar dady mau menceritakan atau sekedar mengaku jika dady benar benar pembunuh?"

Aldi tetap menggelengkan kepalanya merasa tidak setuju. Dia menatap anaknya dengan sedikit melembut, mata sayu yang selalu menyinari hidup keluarganya berubah drastis.

Iya kan?

"Dady bukan pembunuh sayang, semua itu terjadi begitu saja." Jawab Aldi lagi, dan semua kata itu hampir Aro hafal sampai keluar kelapanya.

"Seratus limabelas kali dady jawab itu, dan apa aku percaya? Makin hari aku makin gak percaya sama dady karna ucapan dady yang membuat aku benci sama dady."

"Mau sampai kapan dad? Mau sampai aku umur 17 tahun dan pergi dari rumah? Okeh!" Ucap Aro yang bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri.

"Berhenti membuat keputusan sendiri!"

"Dady juga, berhenti menjaga rahasia tidak penting!"

"ARO!"

"Berhenti berteriak dady, berhenti mengurisi hidupku dan membuat isi kepalaku ingin pecah karna tindakan seorang dady yang memaksa anaknya sesuai kemaunya!"

"Aro, kamu dihidupkan dengan uang dady!"

"Berhenti menghidupkanku jika dady merasa keberatan!" Teriakan Aro membuat Aldi terdiam dan menatap datar pada anaknya.

"Apa? Bukankah dady selalu mengungkit apa yang sudah dady berikan padaku? Ambil, ambil lagi. Kalau bisa, jual aku untuk menghasilkan uang yang sudah menghidupkanku. Dady macam apa yang mengungkit pendapatannya hanya untuk memaksa anaknya menjadi sepertinya?"

LIMIT COMFORT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang