•First Day Of School•

42.3K 2.3K 131
                                    

Aku tak pernah bisa mengerti apa arti dari tatapan yang selalu kamu layangkan untukku. Yang jelas, ia selalu berhasil menenangkan jiwaku saat dirundung takut.

-Ara-

• • •

Rok biru dengan kemeja putih dimasukkan sudah melekat ditubuh Ara yang mungil. Rambut panjang diberi pita mendukung untuk berpenampilan kanak-kanak diusianya yang terbilang sudah remaja.

"Good morning, Ayah!" Sapanya sambil mencium pipi Tommy singkat. Senyum lebar dan mata berbinar selalu melekat diwajah cantiknya.

Beralih pada Jessy, "Good morning, Bunda!" Melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada ayahnya.

"Tumben udah rapi? Biasanya tunggu Bunda atau Ajim dulu," Ujar Jessy keheranan. Melihat Ara pagi-pagi sudah rapi tanpa bantuan cukup ajaib.

"Bunda Jessy, Ara itu udah masuk SMA, pengen belajar mandiri tanpa Bunda atau Ajim! Artinya, bi Inem." Jelas Ara dengan telunjuknya yang bermain diudara. Tidak mau sadar kalau Tommy dan Jessy dibuat tepok jidat.

"Halah, paling juga sebentar." Azam mengambil tempat duduk disebelah Ara yang mendelik kearahnya. Suka saja menjahili Ara hingga berubah mood-nya

"Ih, Ara kan baru mau belajar!" Ara langsung beralih ke ayahnya, "Ayah, liat Ajim!" Teriaknya sambil menunjuk wajah Azam kesal.

"Ajim," Tegur Tommy, lebih tepatnya hanya untuk membuat Ara merasa senang.

"Maaf, Om." Dan selalu begitu, sebenarnya Azam tidak benar benar serius, hanya ingin membuat Ara bahagia. Itu saja.

Ara menjulurkan lidahnya tepat didepan wajah Azam, mata dijulingkan karena merasa menang membuat pipinya ditarik gemas.

"Ara, A...," Jessy menyodorkan sesendok nasi lengkap dengan kuah sop dan sayurannya.

Ara menggeleng sambil menutup mulutnya menggunakan tangan.

"Ara, makan, nak. Ntar disekolah kamu pingsan lagi, hari ini, kan, upacara." Tommy memberi pengertian, anak satu satunya ini memang sangat susah diberi makan.

"Nggak mau." Ternyata Ara tetap bersikukuh.

"Ara sayang, sesuap aja sini, yuk. Pake sop kesukaan Ara." Jessy berkata lembut, suratan kerutan tua penuh keibuan tergambar diwajahnya.

Ara masih menggeleng keras, "Nanti aja, Bunda," Ujarnya dengan rengekan.

Azam yang sedari tadi diam, kini ikut bertindak, "Ara." Reflek pemilik nama menoleh. Menatap lekat tepat keiris mata kecokelatan penuh lugu itu, "Makan." Pakai mode hipnotis, Azam menurunkan tangan Ara dengan pandangan yang tak pernah lepas.

Ara membuka mulutnya dengan berat hati, mengunyah ogah-ogahan. Ara terlalu lengket dan penurut jika berada disisi Azam tanpa pengecualian, termasuk orang tuanya sendiri.

....

Azam turun dari motor terlebih dahulu sebelum menurunkan Ara. Dia dapat merasakan, canggungnya Ara bersekolah dijenjang yang bisa dibilang jenjang untuk pencari jati diri. Pikiran dan akal Ara masih terlalu kekanakan untuk memasuki fase ini, menurut Azam.

Mata Ara menyapu seluruh lekuk sekolah barunya. Kumpulan para perempuan, lelaki, anak-anak brandalan yang asik menghisap nikotin, sikutu buku, dan lain sebagainya berhasil membuatnya bergidik takut.

Bagaimana jika dia diganggu lagi, atau bahkan diperlakukan seperti masa lampau? Tiba tiba rasa takut memenuhi isi pikirannya, Ara benar benar, trauma.

Ara mundur beberapa langkah, mensejajarkan dirinya dan Azam, "Ajim..." Ketakutan yang lebih mendominasi membuat nadanya bergetar, bibir terpucat pasi menambah yakin.

ARA' S[completed!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang