•Sebuah Tawaran•

16.3K 1.1K 38
                                    


Perjalanan yang begitu panjang dan terasa sangat melelahkan telah mereka lalui. Untung saja, didalam pesawat Ara tidak mengeluarkan rewelannya, ya, walau beberapa kali gadis itu meracau heboh hanya untuk menyumpah serapahi kursi yang dia duduki saat ini kurang besar dan tidak senyaman kasur kamar Azam.

Kini kaki-kaki jenjang itu membawa mereka untuk lebih masuk kedalam hotel berbintang, hotel dimana Tommy dan Jessy menginap dinegeri ini.

“Ara mau naik lift yang besar!” Ujar gadis itu girang, tentu saja tak ada lagi koper ditangan mereka karena sudah diambil alih oleh petugas.

“Nggak pernah nggak, kan?” Tanya Azam menaikkan sebelah alisnya dengan sebelah jemarinya yang menggenggam erat jemari mungil Ara.

Ara tersenyum lebar, dia langsung menarik Azam ketika pintu lift transparan itu membelah diri, tentu saja senyumnya makin mengembang bersamaan dengan lift berdinding kaca itu mulai membawa mereka menuju lantai yang sudah ditentukan.

Azam menolehkan kepalanya menghadap Ara, gadis itu masih tersenyum lebar atau terkadang membulatkan mulutnya takjub. Jalanan dikota ini begitu terasa aman dan tenteram jika dilihat dari atas sini, mobil dan motor yang berlalu lalang tanpa melanggar rambunya, serta langit yang mulai oren tanda petang akan tiba.

“Ajim mau tau sesuatu nggak?” Tanya Ara mendongak untuk menatap Azam, kemudian kembali mengalihkan pandangannya kearah langit.

“Mau.” Ujar Azam tanpa mau melepas objek yang menurutnya lebih menarik untuk dipandang dibanding lingkungan mereka yang nyatanya tak kalah lebih menarik perhatian. Wajah Ara tentunya.

“Menurut Ara, ya, disini itu lebih indah daripada diindonesia.”  Ujarnya, jari telunjuknya mengacung kebawah, “Orang-orangnya juga mau ikutin lampu merah, nggak kayak diindonesia.” Ujarnya, kemudian menatap Azam sepenuhnya, “Contohnya Ajim.”

Sementara Azam yang sedari tadi menatap Ara lekat kini menahan senyumnya. Gadis itu memang diam, namun otaknya tetap bekerja tanpa sepengetahuan dirinya. “Iya udah, besok-besok nggak lagi.” Ujar Azam sambil menarik gemas kedua pipi Ara, belum gadis itu memekik kesakitan maka Azam belum puas menariknya lebih gemas lagi.

“Ajim, kalau gitu, kenapa kita nggak pindah kesini aja?” Tanya Ara girang sampai matanya berkilat binar.

Azam mengubah posisinya berada didepan Ara sambil mensejajarkan wajah mereka dengan mata gadis itu yang masih berkilau, “Disini nggak pake bahasa indonesia, emang kamu tau komunikasi bahasa inggris?”

Ara bingung, “Ara... b-bisa kok. Kan ada kamu yang ajarin.” Ujarnya sedikit ragu.

“Terus menjelang kamu pintar bahasa inggris, gimana sama sekolah kamu dihari pertama?” Tanya Azam yang semakin membuat Ara dilanda gugup.

“Kita belajar dari sekarang, Ajim.” Ujarnya masih tak mau kalah. Mengikuti orang tuanya hingga ke luar negeri adalah suatu hal yang lumrah bagi mereka, namun setiap kali ke negara yang terkenal dengan patung liberty nya ini adalah suatu kebahagiaan yang tak terhingga bagi Ara. Dia seperti sudah jatuh hati dengan kedamaian kota tempat mereka berpijak saat ini.

“Emang bukunya bawa?” Tanya Azam lagi.

Pundak Ara meluruh, lalu menggeleng lemas dengan wajahnya yang mulai redup. “Iya, Ajim. Kita nggak bisa pindah kesini.”

Azam kembali berdiri, mendongakkan wajah Ara lembut dengan kedua jemarinya yang menangkup pipi gadis itu, “Nggak boleh sedih.” Dia menarik kedua ujung bibir Ara dengan ibu jarinya hingga senyum gadis itu terbit, “Besok, kalau udah sampai diindonesia, kita belajar bahasa inggris setiap sorenya. Terus, pas lulus sekolah nanti, kamu susul Ajim kesini, kuliahnya disini, tinggalnya juga disini.” Ujar Azam dengan senyumnya. Perlahan wajah gadis itu mulai berbinar kembali, senyumannya pun begitu lebar.

ARA' S[completed!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang